11

11.3K 1.2K 54
                                    

Sudah dua hari Galen tak melihat Neo, entah kenapa ia merasa bersemangat karena biasa nya ia akan mengganggu cowok manis itu.

"Neo belum juga keluar, dia yang belum kapok, atau lo gak bikin dia mau keluar." cetus Callista, karena sampai sekarang ia belum mendapat kabar keluar nya Neo.

"Dia mental baja." jawab Galen.

"Lo harus lakuin sesuatu yang bikin dia gak tahan."

"Mau gue lakuin apapun dia tetep bakalan bertahan Call." Galen menggaruk kening nya.

Callista mendengus, ia mengepalkan tangan nya tak suka dengan jawaban Galen.

"Lagian emang dia masih ganggu lo?" tanya Galen.

"Enggak, tapi gue masih sakit hati Gal, lo anggap ini enteng, karena lo bukan cewek." ucap Callista.

Galen mengangguk paham, namun ia tak ingin melakukan hal-hal yang merusak orang.

Kalau bukan Galen yang buat lo keluar, maka semua orang yang bakal buat lo pergi. Callista menyeringai menyusun rencana untuk menyingkirkan Neo.

"Lo maafin aja Neo, lagian gue pikir dia gak terlalu mencolok, dan terus ganggu lo." tutur Galen.

"Terserah lo." Callista mendengus, ia tak suka dengan ucapan Galen, seakan cowok itu ingin berhenti mengganggu Neo.

___________

Di rumah Neo masih berbaring, ia demam sudah dua hari.

Sebenarnya ia bisa memaksakan diri untuk sekolah, namun ia tak berani bertemu dengan Galen.

Neo akan mengadu pada Daren, namun Kakak nya itu masih belum juga pulang dari rumah teman nya, katanya ngerjain tugas bareng.

Neo belum siap jika harus mengatakan pada Papa nya, ia takut Papa nya malah akan marah.

Ia memandang jendela kamar yang terbuka, melihat cuaca yang cukup bagus hari ini.

Neo tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, Daren dan Dea cukup membuat nya puas, namun terkadang ia ingin sekali bercerita santai bersama Papa nya.

Neo tak pernah mendapatkan kesempatan itu.

"Neo pengen robot itu Pa."

"Ini buat Abang kamu, kemarin dia menang lomba cerdas cermat, kamu ini aja."

"Pa, Neo gak suka strawbery kenapa Papa gak beli rasa keju atau coklat."

"Abang kamu suka rasa strawbery, jadi makan aja itu."

Neo meremat selimut nya, kilasan masa kecil nya terbayang. Selama ini ia selalu mengalah pada Daren, waktu kecil ia pikir itu karena Papa nya lupa, tapi sekarang ia sadar, ia bukan anak yang bisa di banggakan, ia bodoh.

Mungkin selama ini Papa tak pernah mengatakan nya secara langsung, namun Neo sadar diri akan itu.

"Gambar Neo bagus kan Pa, tadi Neo lihat doraemon, jadi Neo gambar."

"Kamu harus belajar itung-itungan kayak Abang kamu, biar di sekolah dapat peringkat."

Dari situ Neo tak pernah menggambar lagi, dulu ia sangat suka melukis karena Mama nya sangat sering memuji nya, namun tak pernah sekali pun, ia mendapat pujian dari Papa nya.

Kenapa ia harus bodoh? Neo sudah sangat sering membaca, namun sampai sekarang ia sama sekali tak mengerti hitung-hitungan, betapa sial nya Neo ia masuk jurusan perbankan, padahal ia sangat menyukai seni.

Ia suka bernyanyi, melukis, dan juga memainkan piano.

Namun ia tak punya kesempatan untuk itu semua, ia harus bisa akuntansi dan juga menghitung laba rugi sebuah kasus dalam perusahaan jika belajar, semua pelajaran nya membahas perhitungan segala nya di hitung.

Neo sama sekali tak berbakat dalam hal itu, ia tak mengerti MYOB, ia tak mengerti PTKP, dan sebagai nya.

Ia hanya tahu cara bernyanyi dan menggambar, jauh berbeda dari Daren.

Neo bangkit, ia ingin minum tenggorokan nya terasa kering.

Ia pergi menuju dapur, ia mendapati Mama nya tengah menyulam di ruang keluarga.

"Kamu mau kemana Ne?" tanya Dea, saat melihat siluet anak nya.

"Mau minum." sahut Neo, ia menegak segelas air putih.

"Lain kali panggil aja Mama." ucap Dea.

"Iya Ma." Neo berjalan menghampiri Dea, duduk di samping Mama nya ini.

"Panas nya udah turun." Dea memegang kening Neo, mengecek suhu tubuh nya.

Neo menyandarkan kepala nya di bahu Dea, ia ingin menikmati waktu berdua bersama nya.

"Masih pusing ya, tapi kalau kamu baringan terus nanti makin pusing, mending nyantai sama Mama kan." tutur Dea.

"Iya Mama bener." jawab Neo.

Dea terkekeh, ia mengelus kepala Neo.

"Ma, Papa tahu aku sakit?" tanya Neo.

"Papa semalem lembur, terus tadi berangkat pagi, jadi dia belum tahu kamu sakit." ucap Dea.

Neo hanya mengangguk, padahal ia sakit sudah dua hari.

"Bang Daren belum pulang juga ya, betah banget di rumah orang." cetus Neo, ia merasa kesepian tanpa Kakak nya itu.

"Iya, katanya mau seminggu nginep di apartement temen nya itu, banyak tugas soal nya." jelas Dea.

Neo tak menanggapi lagi, ia menonton siaran televisi yang menyiarkan berita.

Padahal ia ingin nonton kartun, tapi Mama nya sedang fokus menonton berita, entahlah Neo tak habis pikir dengan para orang tua, yang menyukai berita.

"Papa pulang!" teriak pria paruh baya di ambang pintu.

Neo mendongak, ia tersenyum tipis saat Papa nya menghampiri nya.

"Loh Neo kamu gak sekolah?" tanya Papa.

"Neo sakit Pa." Dea yang menjawab.

Papa mengangguk, ia memberikan tas kerja nya pada Dea.

"Papa tumben masih siang udah pulang." ucap Dea, ia melepas dasi suami nya itu.

"Iya, karena Papa ijin pulang setengah hari." jelas nya.

Dea hanya mengangguk, ia pergi untuk menyimpan barang suami nya itu.

"Kamu sakit apa?" tanya Papa pada Neo, ia duduk di samping Neo.

"Pusing Pa." jawab Neo.

"Dulu pas jaman Papa, Kakek kamu suka bilang, tetap sekolah sebelum gak bisa jalan, jadi kalau pusing dikit Papa suka paksain." tutur Papa. "Anak jaman sekarang emang beda sama jaman dulu." lanjut nya.

Neo tak menanggapi, ia hanya diam, ia juga ingin memaksakan diri namun ia masih belum berani bertemu Galen.

"Gimana sekolah lancar?" tanya Papa.

"Lancar." Neo menjawab seadanya.

"Nanti setelah lulus kamu harus masuk universitas yang sama kayak Abang kamu, masuk akuntansi." ucap Papa.

"Neo emang mau masuk akuntansi." Dea datang dengan membawa secangkir teh.

"Harus nya Papa tanya, Neo mau gak masuk akuntansi." jelas Dea, memberikan teh pada suami nya.

"Ya harus mau lah, lagian sekarang dia sekolah jurusan perbankan, kalau masuk akuntansi kan jadi ngejalur, waktu itu Daren gak mau masuk perbankan malah masuk kesehatan, jadi dia masuk fakultas kedokteran, makanya kamu juga lihat jejak nya, sekolah sama kuliah ngejalur." ucap Papa, sesekali menyesap teh nya.

"Neo pengen masuk sastra, atau fakultas yang berbau seni." Neo menimpali.

"Masuk sastra kamu mau jadi apa Ne, lagian akuntansi lebih bagus." cetus Papa.

Neo menghela napas nya, lagipula siapa yang sejak awal ingin masuk perbankan.

Ia dari dulu ingin sekolah seni, namun apa? Papa memaksa nya masuk jurusan perbankan.

Papa maksa aku ini itu, tapi giliran Bang Daren dia bisa milih pengen jadi apa.








SEMESTA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang