24 Venus

163 55 33
                                    

Herman memang menyebalkan. Dia berkata, "Pegangan," tapi sebelum aku sempat benar-benar berpegangan pada handel belakang motor, dia sudah memelintir gas dalam-dalam. Aku pasti sudah jatuh terjengkang jika tidak berhasil berpegangan kuat-kuat pada pinggangnya.

"Bang, kalau mau bunuh aku jangan pakai cara kekerasan, dong! Aku pengin meninggal dalam keadaan cantik, ya!" teriakku. Dia tertawa.

Gila, kan? Tempo hari dia mengataiku psikopat karena tidak histeris saat melihat kerangka manusia, padahal sebenarnya dirinya sendiri yang psikopat.

"Biar nggak kehujanan, nih," kilahnya.

Terlambat. Hujan sudah turun ketika kami baru melaju sedikit. Aku tidak memakai jaket, boro-boro jas hujan ("Apa, sih, isi tas besarmu itu?" kata Herman tajam), jadi kami terpaksa berteduh di emperan ruko kosong pertama yang kami temui.

Hujan seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Aku teringat bagian belakang klinikku yang atapnya bocor. Saat ini Luna masih di sana karena ada hewan yang menjalani rawat inap. Aku tidak mau dia tiba-tiba terpeleset dan....

Nyawa keponakanku!

Aku buru-buru mengambil ponsel untuk memberitahunya. Ya Tuhan, baterainya habis! Dan aku tidak bawa power bank!

Benar kata Herman. Apa, sih, isi tasku ini? Dompet. Make up. Vaseline. Kabel pengisi daya. Aku bahkan membawa novel fiksi ilmiah yang ukurannya menyesaki tas selempangku, tapi tidak membawa power bank!

Tuhan, tolong lindungi Luna. Jangan sampai dia terpeleset.

"Cari apa?" tanya Herman.

"Abang bawa power bank?"

"Benda apa itu?" Dengan sombongnya, Herman memamerkan baterai ponselnya yang masih 55%.

"Kok baterai ponsel Abang bisa awet, sih? Aku setiap sore pasti kehabisan daya."

"Aku nggak main game dan medsos," katanya. "Cuma buat nerima panggilan dan jawab chat penting."

"Kok bisa?" Suaraku tambah melengking. Hari gini? "Terus Abang ngapain di waktu senggang kalau nggak main ponsel?"

"Kayak sekarang, kamu pikir aku ngapain?" Herman menatapku.

"Mandangin aku?" Senyumku refleks merekah.

"Lo tuh emang geernya naudzubillah, ya!" cecarnya masam. "Mandangin hujan, kek. Cari-cari hal yang gosip-able di sekitar sini, kek."

Benar juga, aku lupa Herman itu penguntit yang tahu apa saja. Dia harus selalu memerhatikan sekeliling jika tidak mau ketinggalan gosip terbaru.

"Kalau aku numpang ngechat Luna di hape Abang, bisa?"

"Aku nggak punya nomornya."

Dia... apa?

"Aku nggak pernah berurusan langsung sama dia. Kalau butuh sesuatu, aku tinggal panggil Adam. Atau kamu." Begitulah pembelaan diri Herman. "Kenapa nggak tanya Adam aja?"

Aku buru-buru mencegahnya membuka chat dengan Adam.

"Mereka lagi berantem."

Herman mendengus. "Jadi buat apa kamu menghubungi Luna? Urgent, nggak?"

"Urgent banget!"

"Cukup urgent untuk maksa mereka baikan?"

"Nggak gitu, Bang." Aku mengepalkan kedua tangan. Aku tidak ingin Herman tahu masalah Adam dengan Luna ada hubungannya denganku juga.

Herman melongok ke ruko lain, lalu menunjuk ke satu tempat. "Kayaknya di situ bisa numpang ngecas. Mau ke sana?"

Yang ditunjuknya adalah sebuah kafe dua lantai. Tempatnya terlihat menyenangkan, tapi....

Eternity [Proses Penerbitan]Where stories live. Discover now