11.

1.9K 312 42
                                    

            "Feel better?"

Aku tersenyum pada Lita yang sudah ada di depan pintu kamar hotel sepagi ini.

"Mata lo bengkak banget. Nangis sampe jam berapa?" Perempuan itu masuk saat aku menguak pintu lebih lebar dan memberinya jalan untuk masuk ke dalam. "Bu Rizka bilang kita disuruh cuti hari ini berdua, tapi potong jatah cuti." Ia tertawa lirih dan geli. "Suruh kita cuti tapi potong jatah cuti. Dasar bos."

Mendengar Lita mendumal, senyumku jadi terangkat. "Lo katanya mau ke PPAT? Kok jadi ke sini?"

Lita menatapku saat perempuan itu menduduki pinggir ranjang dengan gestur santai. "Orangnya baru ada sekitar jam sebelas. Gue mending ke sini aja bawain lo baju ganti dan sarapan, barangkali malas ke bawah untuk sarapan. Kalau di rumah, kuping gue pengang dan stres. Nyokap ngomel-ngomel terus sambil nangis. Maki-maki bokap gue padahal orangnya udah gak tinggal sama kami. Maksud gue, kalau mereka mau bertengkar, ya bertengkar saja sampai puas, jangan libatin gue."

Aku menatap Lita lalu kembali naik ke atas ranjang. Memiliki waktu sebentar untuk sendiri nyatanya bisa membuatku jauh lebih tenang. "Tapi lo baik-baik saja, kan, Ta?"

Lita ikut berbaring di atas ranjang dan menatapku. Posisi kami sekarang tidur miring dengan saling berhadapan. "Gak ada anak yang baik-baik saja lihat orangtuanya bertengkar, Nya. Gue mungkin beruntung lahir dari pasangan yang kaya, tetapi sial karena pasangan itu tak pernah akur dan akhirnya sulit bagi gue buat bahagia. Gue hari ini akan urus balik nama rumah di Menteng yang jadi bahan ribut nyokap bokap gue sampe gue perawan gini. Rumah itu akhirnya jadi milik gue, setelah perseteruan panjang dan proses yang rumit."

"Good luck." Hanya ini yang bisa kuucapkan sebagai pengantar semangat untuk Lita. Aku tahu, ia selalu tertekan setiap orangtuanya bertengkar. Aku tak pernah merasakan berada di posisi Lita, karena aku hidup dengan ibu tunggal sejak kecil, sejak ayahku meninggal.

"Eh, gue belum kasih doa ulang tahun buat lo," ucap Lita tiba-tiba. "Doa gue simple, sih. Semoga rumah tangga dan cinta lo sama laki lo baik-baik saja, supaya anak-anak lo gak harus menderita batin kaya gue."

Mendengar Lita bicara begitu, hatiku jadi nyeri. "Masalahnya lo tahu sendiri, rumah tangga gue baru saja kacau dan hati gue berantakan. Gue ... ada rasa sama Pak Anwar, tapi semalam menyadari kalau kayaknya gak bisa andai Wira pergi. Gue bisa serumit ini, ya."

"Wajar," jawab Lita. "Lo lagi galau aja. Cuma yang gue bingung itu, lo kenapa bisa suka sama laki-laki yang ... sorry, tuwir. Prediksi gue usia dia udah lewat lima puluh, deh."

Aku mengangguk. "51," jawabku. "Buat gue usia bukan masalah. Gue selalu nyaman berada dekat dengan dia. Sorot matanya membuat gue bersemangat dan tenang. Seakan ia memberikan gue perlindungan dan kepastian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia humble, ramah, supel, pinter bercanda, tapi saat serius dia bisa berkharisma dan berwibawa. Gue seperti memiliki ayah, pendamping, pelindung, penyemangat, sahabat, teman curhat, pokoknya yang gue gak punya, dia bisa kasih itu semua."

"Mas Wira memangnya gak bisa?"

Aku menghela napas panjang. "Wira beda sama Pak Anwar. Laki gue cenderung pendiam dan lebih suka berkutat di dapur untuk masak. Kalau gue bahas masalah proses tender dan manajemen transaksi, dia gak akan ngerti. Pun sebaliknya, kalau dia bicara soal oregano, jenis-jenis jamur, dan bahan masakan lain, gue yang mendadak oneng. Kita gak bisa nyambung kalau bicara tentang ilmu-ilmu pekerjaan kami. Kalau gue curhat soal masalah kerja, dia bilang sabar, tanpa bisa kasih masukan dan solusi. Beda banget sama Pak Anwar, Ta."

Lita tersenyum lembut. "Lo mungkin hanya sedang nyaman dengan sosok ayah yang—sorry—gak pernah lo rasa. Kebetulan, Pak Anwar bisa kasih dan Wira enggak. Itu sih penilaian gue sejauh ini. Cuma, Nya, lo harus berpikir seribu kali kalau memang mau ninggalin Wira dan kejar dosen itu. Setahu gue, dosen itu masih ada bini, kan?"

Meniti BahagiaWhere stories live. Discover now