13

1.8K 398 32
                                    

            Tiga hari berjalan dari makan malam ulang tahunku. Mas Wira belum bicara kepadaku dan selalu menjaga jarak. Ia tetap memasak, membereskan rumah, dan membantu anak-anak bersiap sekolah.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada kondisi seperti ini. Ajakan Pak Anwar untuk pulang bersama pun kuabaikan, karena bingung juga harus menanggapi bagaimana atas permintaannya di kafe hotel tempo lalu. Aku jadi lebih sering terdiam sendiri di halte busway atau dalam perjalan pulang dan pergi kerja. Saat Lita mengajak makan siang, aku juga tak banyak bicara.

Pikiranku seperti tumpang tindih dengan segala persoalan yang terjadi. Aku masih bisa konsentrasi dalam bekerja, tetapi tak ada gairah untuk menikmati hari-hariku. Aku tersenyum pada anak-anak, tapi tak ada emosi apapun yang kurasa. Aku seperti kosong, terombang ambing, dan tak tahu ingin ke mana dan bagaimana.

"Rizka mau ikutan makan siang. Lo juga, kan?" Lita mendatangiku yang masih membuat purchase order.

Aku menoleh kepadanya yang berdiri di samping kursi kerjaku. "Iya. Makan di kantin, kan?"

Lita mengangguk. "Rizka kayaknya lagi ada masalah. Matanya bengkak."

"O ya?" Aku membelalak. Sedikit terkejut dengan informasi yang Lita ucapkan. Setahuku, sejak menikah Rizka adalah perempuan paling bahagia. Pernikahannya sudah berjalan tujuh tahun dan aku tak pernah mendengar keributan dalam rumah tangganya. Keluarga Rizka juga harmonis dengan kedua orangtua yang mendukung penuh dirinya. Jadi, jika ia menangis, ada masalah apa? "Rizka kenapa?" tanyaku lirih pada Lita.

Lita mengangkat bahu tak acuh. "Dia cuma senyum aja waktu gue tanya kenapa." Perempuan itu melirik ke arah ruang kerja Rizka sesaat, sebelum menatapku lagi. "Kita tanya pas makan siang aja, ya. Atau ... gue delivery order aja dan kita makan bareng di ruangan dia, gimana?"

Aku mengangguk pelan. "Lo atur aja. Tanya Rizka dulu, tapi, mau gak ruang kerjanya kita jadiin tempat makan."

"Iya, nanti gue chat dia tanya soal itu. Gue balik kerja dulu, ya. Lo jangan muruh dan sumpek gitu. Gak enak dilihatnya."

Aku mendengkus tak acuh, lantas kembali fokus pada layar kerjaku.

*****

Mata Rizka tampak sembab meski samar. Perempuan itu tersenyum saat aku dan Lita memasuki ruang kerjanya dengan membawa dua box pizza. Lita memutuskan untuk menikmati pizza dan cola, alih-alih nasi soto atau makanan padang yang tersedia di kantin basement gedung ini.

"Siang, Bu, kami izin makan di ruang kerja Ibu." Lita berbasa-basi sambil menyeringai jenaka.

Rizka tertawa lirih dan mengajak kami untuk duduk di sofa ruang kerjanya bersama. Obrolan kami dimulai bersamaan dengan kotak pizza yang terbuka. Setelah Lita mulai memancing, akhirnya Rizka bercerita.

Aku terperangah. Tak menyangka jika Rizka diam-diam menyimpan luka dan menutupi kerapuhan hatinya dengan topeng senyum dan prestasi yang ia raih selama ini.

"Gue rajin kerja, rajin belajar, berprestasi, semata untuk mengalihkan tekanan batin gue." Air mata Rizka menggenangi pelupuk matanya. Ia meneguk cola dengan mata terpejam, seakan minuman itu mampu menenangkan gundahnya. "Orang gak tahu aja apa yang gue simpen di pikiran gue. Nyaris gila rasanya. Ada ketakutan yang membuat gue panik seketika. Ada rasa tak aman dan merasa terancam."

"Tapi Ricky kan gak melakukan apa yang lo takutkan, Ka," ucapku kepada Rizka. "Gak seharusnya lo jadi overthinking gitu."

Air mata Rizka turun. Perempuan itu mengusap jawahnya sambil menghela napas panjang. "Tujuh tahun gue nikah dan gak ada anak di antara kami. Mertua gue udah mulai berisik. Gue takut mereka akan meminta Ricky menceraikan gue atau menduakan gue demi keturunan."

"Itu cuma ada di sinetron, Ka," sergah Lita.

Rizka menggeleng pelan. "Kalau keluarga suami gue udah berkehendak, gue bisa apa?"

"Bisa memperjuangkan keutuhan kalian berdua," jawab gue tegas. "Kuncinya ada di Ricky, Ka. Kalau dia gak mau menerima perintah menduakan atau meninggalkan lo, ya kalian akan tetap bersama. Lo pernah bicara soal ini ke Ricky?"

"Pernah," jawab Rizka sambil mengangguk. "Dia bilang kami harus tenang dan santai menghadapi situasi ini. Kami sudah cek ke dokter dan hasilnya gak ada yang buruk. Gue normal, subur, begitu pun dengan dia. Hanya saja ... gue harus apa biar hamil? Ricky gak mau saat gue ajak program hamil atau inseminasi. Dia bilang sedikasihnya saja."

"Itu laki lo udah bagus, itu," ucap Lita. "Dia gak banyak nuntut. Gak kayak bokap gue yang bisanya cuma ribut sama nyokap, bahkan saat status mereka sudah cerai."

Kami terdiam beberapa saat. Hening yang merajai, membuatku berpikir bahwa dalam hidup ini setiap orang memiliki bebannya masing-masing. Selalu ada persoalan yang mewarnai hari dan tekanan yang membuat kita harus kuat menjalani. Aku tak tahu harus bicara apa kepada Rizka yang ternyata menyimpan tekanan batin seorang diri, karena tak kunjung memiliki buah hati. Aku tak pernah berada di posisi Rizka, pun posisi Lita.

"Masalah lo gimana, Nya? Sorry, ya, gue gak ada perhatian ke elo akhir-akhir ini." Suara Rizka memecah hening kami. "Gue lagi fokus persiapan audit divisi kita. Juga ...."

"Gue gak apa, kok," jawabku cepat. "Pak Anwar sudah bicara dan dia bilang kalau gue harus mengenyahkan hal-hal yang tak seharusnya ada. Gue masih belum ketemu dia lagi. Nanti saja, saat urusan gue sama Wira kelar."

"Lo belom bicara sama suami lo?" Lita bertanya dengan wajah penasaran. "Ini sudah tiga hari, bukan? Kalian bertengkar? Plis, jangan sampe pisah. Anak lo bisa troma kayak gue nanti."

Aku menghela napas panjang. "Mas Wira kayaknya marah. Gue gak tahu gimana mau memulai komunikasi kami. Selama ini gue jaga jarak agar gak kepancing emosi kalau lihat dia masak dan diam di rumah. Sekarang, dia yang selalu hindarin gue dan lebih banyak menghabiskan waktu sama anak-anak." Dadaku terasa sesak, setiap mengingat bagaimana perlakuan Mas Wira kepadaku. "Gue kayak orang asing di rumah gue sendiri. Anak-anak gue bahkan enggan dekat dengan gue. Hanya Noah yang masih suka main sama gue kalau di rumah."

Tatapan Rizka dan Lita tampak iba kepadaku. Aku tak suka dipandang prihatin begitu. Hanya saja ... aku harus mengakui bahwa kondisiku memang memprihatinkan.

"Uhm ... kalau gak salah nih, ya. Kalau gak salah." Lita mulai bersuara. "Gue pernah dengar kalau penyelesaian masalah suami istri yang bagus itu ... dengan seks." Ia mengangkat bahu dengan gestur ragu. "Gue sih belom coba, karena belum nikah dan belum niat nikah. Bokap nyokap gue juga nyatanya gak berhasil dengan ranjang. Cuma, gue selalu dengar kalau cara itu selalu berhasil meredam emosi. Iya?"

Aku dan Rizka saling tatap, lalu menggeleng pelan setelahnya.

"Gue pernah begitu sama Ricky, sih. Kami rutin bercinta meski ... nihil."

"Nihil anaknya tapi masalah kalian selesai kan?" serbu Lita. "Kalau teori itu ternyata bisa, harusnya Sonya bisa, dong?"

Aku mengerjap lambat, mencerna uraian yang Lita lontarkan. Untuk masalah ini, apakah bercinta mampu memperbaiki kondisi rumah tanggaku?

"Lo ... gimana sama Wira? Maksud gue, kalian masih sering begituan, kan?"

Aku menggeleng lagi. "Gue bahkan lupa kapan terakhir kali gue making love sama dia."

"Ya ampun, Sonya. Lo bener-bener, ya ...." Rizka menggeleng pelan. "Pria tidak bisa menahan terlalu lama. Itu menyiksa."

"Gue ... gue capek kerja, Ka. Gue stress tiap lihat muka dia."

"Dan sekarang lo stress karena dicuekin dia. Stres aja terus, lo." Lita menimpali dengan gestur mengejek. "Pulang nanti, coba pake cara itu. Kalau berhasil, kabarin gue."

"Gak penting," sergah Rizka sambil mengabil sepotong pizza. "Memangnya kalau Sonya berhasil, lo mau langsung cari cowok buat kawin."

"Enggak, sih, ogah." Lita tertawa ringan sambil mengambil lagi potonga pizza yang masih ada.

Aku mengunyah sambil memikirkan ide yang Lita cetuskan tadi. Apa ... aku harus memulai mendekati Mas Wira dan mengajaknya bercinta?

***** 

Meniti BahagiaWhere stories live. Discover now