22

1.9K 320 23
                                    

            "Lo pergi dari rumah?" Mata Rizka terbelalak dengan wajah tak percaya. "Tinggal di mana lo sekarang?"

Aku menghela napas sebelum meneguk teh hangat dalam gelas yang kugenggam. "Hotel belakang kampus," jawabku saat tenggorokanku terasa lebih nyaman karena minuman itu. Aku, Lita dan Rizka sedang duduk di meja pantry dan menikmati sarapan. "Waktu pesan taksi, yang ada di pikiran gue alamat kantor. Jadi, gue minta diturunin di hotel belakang kampus. Entahlah, berapa lama gue di sana. Mana saldo gue mulai tipis."

"Gue gak sangka laki lo bisa begitu." Lita menimpali. "Ini yang bikin gue beneran males nikah. Gak semua hal bisa berjalan sesuai harapan. Pria yang jelas kelihatan cinta banget sama Sonya aja, nyatanya begitu. Selingkuh. Berbagi bibir sama perempuan lain. Kalau gue jadi Sonya, gue gak tahu harus gimana. Satu sisi pingin lepas, tapi kasihan anak-anak. Gue gak mau anak-anak Sonya mengalami keretakan batin kayak gue. Apalagi, semalam mereka lihat kalian bertengkar, kan?"

Aku mengangguk dengan hati yang teremas pilu. Ingatan wajah Adam dan kembar, juga teriakan Noah yang menangis ketakutan, membuatku merasa bersalah. Namun, setiap mengingat wajah Mas Wira dan bagaimana mereka berciuman di restoran jepang, membuat emosiku kembali berkobar. Aku berada pada persimpangan yang membingungkan. Aku tak tahu harus apa. Pergi dan meniti kebahagiaanku sendiri atau bertahan dengan hati yang tersakiti.

"Gue ... mungkin akan mengajukan gugatan cerai. Meski nantinya berat, gue akan menerima jika hak asuh anak-anak jauh ke tangan gue dan gue harus menanggung kebutuhan mereka semua. Toh, sekarang juga begitu, kan? Jadi, gue pikir, enaknya pisah aja. Setidaknya, gak ada yang nyakitin hati dan jiwa gue."

"Pikir baik-baik, Sonya," pinta Rizka sambil menikmati risoles yang ia bawa. "Lu lagi emosi, kecewa, dan lelah. Coba perhitungkan lebih banyak mana keuntungan dan kerugian yang akan lo alami, andai beneran cerai. Terus, menurut gue, entah nantinya Wira berbohong atau jujur, lo tetap coba kasih dia kesempatan untuk menjelaskan."

Aku menggeleng tegas. "Sakit, Ka, rasanya. Gila, gue aja mati-matian menahan rasa gue ke pria lain demi dia. Namun, apa yang gue dapet? Nothing!"

Rizka terlihat menghela napas panjang. "Berat," ucapnya lirih. "Gue mungkin gak akan sanggup berada di posisi lo."

Gue kesulitan ekonomi sejak suami gue dipecat dari kantornya. Anak gue empat dan gue harus membiayai mereka selama suami gue menjadi pengangguran di rumah. Gue jatuh cinta pada pria yang memberikan gue kenyamanan di tengah rumah tangga yang goyah, tetapi harus bisa menghilangkan rasa itu meski harus tertatih. Lalu, sekarang, suami gue yang setahun terakhir menjadi beban gue, selingkuh dengan perempuan entah siapa. Dosa gue apa, sih, Ka, sampe Tuhan kok ngasih cobaan segininya."

Tanpa terasa air mataku luruh lagi. Hatiku sungguh terasa nyeri. Beru kali ini akhirnya aku merasa apa yang Lita rasa. Lebih baik bunuh diri saja agar tak harus berdiri di tengah kondisi yang membuat jiwa kami sakit dan menderita.

"Gue yakin lo bisa bangkit dan keluar dari masalah ini," jawab Lita, entah apa maksudnya. Mungkin ia ingin menghiburku, meski kuyakin dalam hatinya ia pun ragu. "Gue gak tahu, sih, solusi untuk masalah lo ini apa. Gue gak bisa bantu, karena hidup gue juga buntu kalau udah urusan pasutri ribut. Tapi, gue mau kok nemenin lo tinggal di rumah gue, daripada uang lo habis buat hotel. Sayang, kan?"

"Gue gak mau repotin elo, Ta," tolakku sambil menggeleng pelan. "Lagian gue gak enak sama nyokap lo. Ngerepotin banget."

Lita terkikik lirih dan santai. "Gue jarang ketemu nyokap. Dia lebih banyak sibuk di luar entah dengan siapa. Dia bertemu gue hanya saat dia sedang marah dan bertengkar dengan bokap gue saja. Gue bahkan gak yakin lo bakal ketemu beliau."

Meniti BahagiaWhere stories live. Discover now