O1. Tuan Pond

1.3K 82 1
                                    

Phuwin lari-lari kecil. Semangat karena habis dapat upah dari tuan pemilik warung kelontong ujung desa.

Senyumnya manis seperti gula. Yang terus-terusan terpampang buat orang-orang yang lihat kepalang hati berbunga, gila.

Sesekali, pada waktu yang tepat, tangannya melambai pada wanita-wanita kuli yang tengah berjalan pulang dari bekerja di tambang batu kapur.

Lalu teriak panggil, "Siang, makcik!" yang segera dibalas dengan cengiran lebar dari sebagian wanita paruh baya di sana.

Bagi mereka, Phuwin mirip es batu. Sebab bukan karena bebal seperti aspal. Atau bikin sakit kepala kalau di lempar. Tapi karena tubuh serasa segar kembali kalau lihat Phuwin seliweran.

Sayang, dirinya tak hati-hati. Lupa perhatikan jalan yang dilewati. Tersandunglah dia berakhir meratapi.

"Aduh, perih bukan main." sungutnya.

Lupa pada koin-koinnya yang terguling di sekitaran jalan. Lupa pada euforua yang bertalu-talu saat menerima sekantung upah.

Ah, masa bodoh, pikirnya.

Yang sedang sibuk menggulung celananya. Yang sedang sibuk meringis meratapi lubang di bagian kain penutup kakinya itu.

"Bilang apa aku pada ayah."

Semburat kecewa terpatri. Jelas pada wajahnya yang kini tertekuk. Ah, kenapa harus sesial ini.

Padahal dua hari kemarin dirinya sudah terguling dari atas dokar. Lalu kemarin jarinya tidak sengaja tertancap paku. Walau masih untung tidak berkarat. Bisa mati dirinya kalau kejadian benaran.

Musabab itu bukan hal terakhir juga untuk ditimang-timang memprotes.

Phuwin itu rajin ke langgar. Tak lupa, sering berbagi nasi bungkus pada bocah-bocah ingusan di sekitaran. Yang entah dimana orang tua mereka. Setau Phuwin, bocah-bocah itu sering menghabiskan waktu dekat pohon beringin kalau bulan sudah nampak.

Tapi kenapa kesialan tak lantas pergi menjauh seharinya saja.

Sedikitnya, Phuwin dengki pada si kesialan yang terus-terusan menggoda kehidupan dia.

"Boleh saya bantu?"

Mendongaklah Phuwin kemudian. Silau yang tiba-tiba menghilang diganti dengan wajah rupawan. Mulutnya membuka. Tercengang.

"Tidak, tuan. Nanti saya mengotori tangan tuan. Tidak boleh." begitu Phuwin menjawab. Ia kemudian menarik diri. Memaksa untuk berdiri. Padahal terlihat sekali, seperti akan oleng ke kiri.

Kemudian tangan si tuan dengan sigap mengulur. Pegangi lengan Phuwin sehingga si manis di depannya tak jadi jatuh.

"Kamu tidak pernah mengotori tangan saya. Yang bisa mengotori tangan saya itu hanya orang-orang yang seharinya diam diri dalam pos ronda." begitu Tuan di depan Phuwin berkilah.

Mengerutlah kulit dahi Phuwin kemudian. Tuan penolong ini selalu begitu. Tuan bernama Pond yang baik hati ini selalu buat kalimat penuh teka-teki. Yang bikin Phuwin sedikit kesal, sedikit ingin mengerti.

Merasa penasaran akan ucapan tuan di depannya, ia berdehem sebentar kemudian berkata, "Atas dasar apa tuan tuntut mereka bisa mengotori tangan tuan. Memangnya mereka sering buat salah pada tuan?"

Tuan di hadapan Phuwin hanya mesem.

Ah, Lucu sekali, batinnya. Buat dirinya ikut tersenyum.

Lantas si tuan menjawab, "Karena cuma mereka yang berani macam-macam sama kamu."

Bingung lagi Phuwin akibat jawaban si tuan. Phuwin pilih mendecak. Mengerucut dua bibirnya, berorasi,

"Mereka yang macam-macam pada saya, lantas kenapa tuan yang merugi. Jahat sekali sesungguhnya saya pada tuan kalau begitu."

Tuan itu senyum lagi. Bareng-bareng dengan semilir angin.

Berdehem membersihkan kerongkongan, si tuan hela napas selanjutnya, bilang:

"Mereka pantas buat saya khilaf kotori tangan. Sesungguhnya, memang wajib 'ain bagi mereka untuk dikeroyok kedua tangan saya."

Tuan Pond lalu diam. Perhatikan jemarinya yang masih pegangi Phuwin. Eh, tahan nafsu kamu Pond!

Lepaslah tautan keduanya. Beri sedikit jarak, Pond tarik napas pelan melanjutkan, "sebab sudah berani macam-macam pada kekasih hatiku."

Phuwin pegangi dadanya. Ah, sepertinya ia harus segera ke langgar,

buat Istighfar.

Bersambung.

Rayuan Tuan - PondPhuwinWhere stories live. Discover now