O3. Budhe Angkringan

480 50 1
                                    

Matahari sudah menyingsing. Burung-burung juga pada menepi. Kasih peringatan buat orang-orang yang masih bermimpi untuk segera bangun dan beraktivitas lagi.

Phuwin sibuk bernyanyi. Menyambi diri yang tengah menjemur pakaian-pakaian basah dengan menyirami.

Rumput-rumput rumah harus tampak segar biar enak dipandang, menurutnya.

Diam-diam ia berhenti. Memperhatikan perkutut yang sibuk menyiul pada seutas kabel. Senang hatinya pagi datang kembali.

"Dek, bapak mau balik siapkan biduk. Laut sedang surut, ikan-ikan merengek minta dijaring."

Begitu pesan Bapak yang memanggul buntalan jaringnya pada Phuwin, lantas Phuwin taruh selang cepat-cepat, bilang, "Tunggu sebentar, pak," sebelum lari terbirit-birit masuk dalam rumah.

"Sangu, biar tidak masuk angin." ucapnya saat sudah kembali di dekat bapak.

Phuwin ulurkan rantang berisi bekal sarapan. Dengan lauk telur dadar serta tumis kangkung di dalamnya.

Bapak tertawa mengacak surai Phuwin sebelum meraih rantang itu.

"Terima kasih." kata bapak. Langsung berbalik dan mulai melangkah keluar dari dalam pelataran rumah.

Phuwin mengangguk jawab, "Sama-sama," dengan tangan melambai-lambai berdoa agar bapak selamat sampai kembali nanti.

Syahdu pagi ini terasa lagi. Sebab Phuwin yang kemarin-kemarin berhasil dapatkan gaji kini tak perlu was-was untuk belikan nasi bungkus pada bocah-bocah beringin. Yah, walau Phuwin semalaman hitung kembali koin-koinnya yang kemarin menggelinding dan ada hilang tiga, tapi tidak apa-apa, untuk sedekah pada yang membutuhkan.

Ketika Phuwin larut kembali pada pekerjaannya, tiba-tiba seseorang sedikit lantang teriakan namanya, "Phuwin!"

Buat dia menengok. Senyumnya langsung terpatri. Tinggalkan jolang yang masih terisi pakaian basah, ia lari kecil dekati pagar rumah, "Pagi, Dunk." sapanya.

Yang mana si Dunk nampak tersenyum perlihatkan gigi bersihnya, ia lalu masuk dahului Phuwin. Nimbrung pada pakaian-pakaian yang masih belum selesai dijemur. Bantu-bantu agar cepat terselesaikan.

"Aku ingin mengajakmu pergi ke panti. Pasti kamu sangat suka. Semuanya rindu kamu." Dunk mulai beritahu maksud kedatangannya.

Sementara Phuwin sibuk menjepit selimutnya pada tali jemuran, kemudian dirinya membalas, "Bagaimana mereka bisa rindu aku?"

"Tentu bisa. Abang Pond pemilik pantinya."

Phuwin sentil dahi Dunk kuat-kuat, "Tidak ada hubungannya denganku kalau begitu," berkatalah Phuwin kemudian. Dirinya jadi ingat kejadian tempo hari, ia berpaling sambil kipas-kipas wajah dengan tangan.

Merasa gemuruh dalam tubuhnya sangat gencar sebab ia merasa lemas seketika dengar nama Tuan baik hati itu disebut. Ah, kenapa pula pada jantungnya. Yang tetibaan bertalu-talu serasa manggil-manggil untuk teriakan lagi nama si tuan itu.

Sementara si Dunk menggosok-gosok dahinya yang terasa perih bekas disentil Phuwin, pukul-pukul bibirnya dia kemudian menggumam, "Salah ngomong aku pada si hilang ingatan ini."

Tak terlalu perhatikan Phuwin yang bertanya begini, "Di mana letak panti itu? Dengan warung Budhe apakah jauh?"

Dunk dengan tangan mengulur kemeja terakhir mengerut dahi bingung cuma mengangguk-angguk sembari jawab, "Dekat. Jangan khawatir."

Disambut Phuwin yang nyengir lebar,

"Nah, aku siap-siap dulu kalau begitu."

▪▫▪

Rayuan Tuan - PondPhuwinWhere stories live. Discover now