O2. Punya Saya, Katanya

648 56 2
                                    

Pond punya cita-cita mulia. Beri makan anak-anak miskin di penjuru dunia. Beri beberapa potong kain untuk si papa. Beri ruang berteduh untuk yang tuna.

Dan Pond tak pernah menyangka. Buah pemikiran elok seorang anak sekolah dasar seperti dirinya. Yang saat itu ingus masih meleber hingga basahi bibir. Yang waktu itu makan masih lari-lari disuapi. Terkabul, mustajab.

"Dia beri aku pengalaman paling elok semasa hidup mengenalnya. Aku tak bisa balas budi lebih baik lagi padanya, sayang sekali." begitu Pond menggunjing. Di selasar rumah beramai-ramai istirahatkan badan.

Lelah usai menilik percetakannya yang berada tepat ke utara sejauh dua puluh kilometer dari rumah tempatnya bersinggah.

Namun, sedikitnya, ia bernapas lega. Saat kepulangannya kemudian disambut kumpulan laki yang sudah lebih dulu duduk-duduk depan gerbang rumahnya, udut. Lantas dirinya sedikit bersemangat bukakan gerbang biar teman-temannya juga bisa beristirahat dalam rumahnya.

"Macit-macit." Pond berkata sembari angkut-angkut beberapa makanan ringan. Barulah kemudian dia simpan diri duduk di antara mereka hingga sekarang.

Saat semilir angin datang, yang berambut sedikit cokelat tiba-tiba menceletuk, "Bang, tak rindu pada suamimu?"

Pond berpaling. Meletakkan lintingan rokok yang baru disulut olehnya. Senyumnya terpatri buat yang lain justru simpati.

"Rindu, tapi aku tak mau memaksa dia untuk segera balik."

"Kenapa?" kini yang memiliki tubuh kokoh nan gagah, yang duduk tepat bersandingan dengan Pond, bertanya.

"Tidak ada alasan."

Marc, nama si rambut cokelat, lantas meringis. Dalam sela keterdiaman di antara kumpulan lelaki itu, dia berkicau lagi, "Tidak takut kalau aku jadikan suami nomor dua, bang?"

Buru-buru pemuda pemilik bibir tebal, bernama Neo, yang sejak tadi hanya diam bergerak menampar pelan bibir Marc,"Sering-sering ke langgar kau. Karma tahu rasa."

Begitu Neo diam, yang lain kemudian tertawa. Terhibur dengan tingkah Neo yang sedikitnya kasar tapi menyimpan kebenaran. Buat selasar nampak ramai seperti pasar sore dekat pantai.

Tapi sayang seribu sayang. Tuan Pond kita cuma senyum sekilas. Dengan kedua mata sibuk mengerling ke sana ke mari perhatikan sekitar.

"Janganlah kamu buat bercandaan hidup Abang satu ini. Kasihan, kehilangan cinta suaminya." Joong, yang bertubuh gagah tadi bicara. Merasa hawa tak sedap yang kian lama kian melekat pada tuan rumah.

"Tapi, sungguh bang. Suamimu itu selalu jadi bahan untuk zina mata bajingan dekat pos sana. Sering sekali milik mereka mengacung cuma gara-gara bersiul menggoda kekasih hatimu itu. Was-was aku padanya. Bagaimana kalau diterkam."

Pond raih lintingan rokoknya kembali lalu diisap buat asap keluar setelahnya, kemebul.

"Aku terima kalau harus masuk neraka bunuh bajingan-bajingan itu demi dia," bersuaralah Pond kemudian. Ia angkat wajah. Tatap satu-satu kawan-kawannya yang sudah senyum-senyum menggodanya, lantas, dengan tangan mengetuk-ngetuk lintingan rokok, dirinya berdehem berkata lagi,

"Sebab Phuwin punya saya."

Sudah bukan cuma mirip pasar. Selasar sore itu, sudah seperti kebakaran jenggot akibat teriakan para lelaki sobat kental Tuan Pond yang baik hati.

Bersambung.

Rayuan Tuan - PondPhuwinWhere stories live. Discover now