Someone New

274 29 7
                                    

"Yah, jadi kamu beneran gak bakal masuk hari ini nes?" Tanya Theo untuk kesekian kalinya di samping tempat tidurku.

Aku mendesah. Semenjak pulang dari berkemah tadi malam, tiba-tiba saja tubuhku meriang. Mungkin wabah flu sedang merajalela di dalam tubuhku saat ini. Badanku rasanya lemas, belum lagi kepalaku yang terasa berat. Kalau ku paksakan ke sekolah, aku yakin aku hanya akan pingsan di sana.

"Iya yo, tolong kasihin suratku ke Silvi yaa.." Aku menjawab dengan suara lemas. Bukan di buat-buat, tapi tengorokanku benar-benar sakit sekarang. Dipakai untuk menelan air putih saja sakit.

"Aku bolos juga deh kalau gitu. Mana asik kalau di sekolah gak ada kamu. Sepi, gak ada yang di jailin." Keluh Theo dengan mulut yang sengaja di kerucutkan.

Aku tertawa pelan melihat mimik sahabatku. Laki-laki ini, di hadapan orang lain selalu saja terlihat cool, cuek. Tapi kenapa kalau di depanku sepertinya tidak punya malu sama sekali ya, bahkan tingkahnya lebih sering ke kanakan.

"Jailin Richo aja, dia pasti senang kalau kamu jailin. Bahkan mungkin minta lagi." Aku terwaku sesaat kemudian menutup mulutku seketika, tenggorokanku benar-benar sakit.

Theo tersenyum kecut. "Siapa yang mau jailin banci sekolahan kayak Richo. Enakan jailin kamu kemana-mana."

"Udah ah, kamu telat nanti yo. Aku gak mau di marahi om cuma karena kamu bolos." Semoga Theo mau bergerak, nama om Damie memang satu-satunya yang bisa di andalkan di saat seperti ini.

Theo mana mungkin mau mendengar omelan papanya yang panjang lebar hanya karena hal sepele.

"Gak usah bawa-bawa papa deh nes, mana mungkin papa marah. Orangnya aja gak ada."

Aku tersenyum kecut mendengar kalimatnya barusan, sementara tawa Theo sudah keburu pecah meperhatikan raut wajahku. Bagaimana aku bisa lupa kalau om dan tante sedang ke LA. Ya, Tuhan. Sepertinya efek meriang pada tubuhku cukup dahsyat.

"Kalau kamu gak sekolah, nanti yang sampaiin surat aku ke Silvi siapa? Aku gak mau alpa." Ujarku berusaha meyakinkan Theo lagi.

"Kan ada mang Dadang, suruh aja dia yang ngantarin surat kamu. Sekalian suratku deh kalau gitu." Ucapnya Terkekeh.

Aku menyerah dengan laki-laki ini. Apa yang di katakannya tidak pernah benar-benar bisa ku lawan. Selalu saja ada kalimat baru yang di gunakannya untuk melawan omonganku.

Theo memang selalu seperti ini kalau aku benar-benar tumbang, alias sakit parah. Kalau meriang bisa di bilang parah. Dulu dia juga pernah bersikap seperti ini. Bukannya tidak senang Theo begitu memperhatikan ku seperti ini, tapi kami hanya sahabat.

Aku takut di cap orang yang membawa pengaruh buruk pada Theo walaupun aku tidak yakin itu. Soalnya, om Damie dan tante Anggun justru lebih sering membanggakanku ketimbang anak mereka sendiri, si Theo. Mereka selalu meledek Theo dengan setiap prestasi yang aku dapatkan. Maklum Theo memang agak cuek dalam pelajaran, bukannya dia bodoh, tapi dia pemalas. Memang apa bedanya?

" Kenapa tertawa? Katanya tenggorokannya sakit.." Tegur Theo kecut. Dia pasti tahu aku sedang memikirkan yang tidak-tidak tentangnya.

"Gak ada, cuma lucu aja lihat mulut kamu yang manyun-manyun gitu. Persis Donal." Donal bebek maksudnya.

Wajah Theo semakin di tekuknya. "Berhenti ngeledek, tidur gih. Tadi katanya mau tidur." Ujanya sedikit lembut kali ini.

"Gimana mau tidur kalau kamu di sini?" Tidur di hadapan Theo, yang benar saja. Mana mungkin bisa mataku terpejam.

Theo terkekeh "Kenapa? Gak bakal aku apa-apain kok. Paling ikut nyelip di balik selimut." Ucapnya enteng sambil memainkan alisnya.

Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya. Theo tidak tahu saja kalau sekarang dewi batinku sedang menari kegirangan memikirkan hal itu. Astaga Vanessa, kamu masih kecil!

You Belong With MeKde žijí příběhy. Začni objevovat