Kena Pelet

11.1K 895 1
                                    

Satya tak fokus bekerja hari itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Satya tak fokus bekerja hari itu. Kepalanya tiba-tiba terasa pening. Ditambah lagi nyeri di bagian belakang kepalanya membuatnya merasa semakin tak bisa fokus. Bayangan masa lalu yang sudah sekian lama hilang perlahan menghantui pikiran dan hatinya. Satya pikir, bertahun-tahun rutin konsultasi dengan psikiater akan menghilangkan perasaan itu. Rasa sakit yang teramat sangat ketika dipermainkan, dipermalukan, dan ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Namun, nyatanya perasaan itu hanya terkubur dalam segala rutinitasnya. Ia tak benar-benar bisa melupakannya. Ia hanya sedang mengalihkan pikirannya dari masa lalu itu. Dan sekarang, lembaran cerita yang pernah ia tenggelamkan di dasar pikirannya kembali mengapung dan perlahan terbuka. Bekas luka yang tak bisa hilang kini bertambah luka yang baru.

Satya membuka laci meja kerjanya. Mengambil satu botol obat berwarna putih dan membukanya. Ia mengumpat kasar. Botol itu kosong. Ia lupa, terakhir ia meminumnya adalah beberapa tahun yang lalu. Ia tak pernah konsultasi ataupun minum obat penenang sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya sejak ia merasa baik-baik saja setelah pertemuannya dengan perempuan itu lagi.

Satya menengadahkan kepalanya ke atas. Ia ingin berteriak, ia ingin mempermalukan perempuan itu, ia ingin membalaskan perasaan kesalnya. Namun, hatinya tak bisa. Ia marah, tetapi ia tak bisa memarahinya.

Tok tok

Satya buru-buru memasukkan botol obatnya ke dalam laci meja kerjanya. Ia menegakkan tubuhnya dan pura-pura membuka laptopnya. "Masuk," ujarnya datar.

Hisyam datang dengan setumpuk berkas di tangannya. Ia sudah bisa berjalan normal tanpa menggunakan tongkat. Hal itu membuatnya bisa dengan mudah ke ruangan Satya tanpa perlu lagi meminta tolong ke stafnya, apalagi Masita.

"Lo enggak apa-apa? muka Lo pucet." Hisyam membuka suara. Menatap lama pada sahabat sekaligus bosnya.

"Gak, cuma pusing biasa."

Hisyam menganggukkan kepalanya. Pekerjaan yang tak terlalu banyak membuatnya ingin bersantai dulu dengan Satya. Untuk itu, ia duduk di depan meja kerja Satya, membuat laki-laki dengan wajah datar itu menukikkan alisnya.

"Ck ... gak sopan banget makan gaji buta di depan bosnya."

Hisyam tertawa. "Kalau bosnya Lo mah, Gue enggak takut." Hisyam menegakkan tubuhnya, menatap Satya lekat. "Lo enggak apa-apa ... em soal Masita?" Ragu-ragu Hisyam bertanya. Pasalnya, sejak pengumuman pertunangan Masita siang tadi, Satya sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun. Bahkan selesai makan siang ia langsung pergi tanpa berpamitan. Dan yang paling membuat Hisyam curiga adalah raut wajah Satya yang berubah menjadi ... marah?

Satya menghembuskan nafasnya. "Gue marah," ujarnya membuat Hisyam terkejut. "Gue marah karena berani-beraninya dia mempermainkan bosnya sendiri. Benar-benar gak ada sopan santunnya sama sekali. Dia bersikap seolah-olah suka sama Gue, pepetin Gue setiap hari, sampai-sampai anak kantor hampir semua tau kalau dia suka Sama Gue. Dan sekarang dia tiba-tiba kasih informasi bahwa kemarin dia tunangan. Gak mungkin juga sehari dua hari ketemu langsung tunangan, kan? Jadi pasti dia udah punya pacar waktu deketin Gue. Jadi-...."

"Tunggu-tunggu," Hisyam memotong perkataan Satya. Ia menatap Satya dengan tatapan curiga. "Jadi Lo sebenernya kesel karena Lo merasa dipermainkan?"

"Yap."

"Lo marah karena Lo merasa dia merusak harga diri Lo sebagai seorang CEO?"

"Betul."

"Lo takut kalo semua staf bakal kasihan sama Lo karena seakan-akan Lo ditinggal Masita tunangan sama cowo lain?"

"Iya."

"Em ... Lo cemburu?"

"Nah itu Lo tau."

Hisyam dan Satya saling berpandangan. Menyadari kesalahan ucapannya, Satya buru-buru menggeleng. "Enggak. Maksud Gue enggak. Ngapain Gue cemburu sama Dia. Dia mau tunangan ya tunangan aja, eggak ada urusannya sama Gue," kata Satya sambil tertawa garing.

"Oh ..."

Satya terlihat panik. "Lo enggak percaya sama Gue? Lo kenal Gue berapa lama sih? mana mungkin Gue suka sama Masita. Lo tau kan tipe Gue bukan Masita. Hahaha...." ucap Satya meyakinkan.

Hisyam memandangi Satya. Ia ingin sekali tertawa sebenarnya, melihat Satya yang mencoba untuk menjelaskan sesuatu sedetail itu membuatnya yakin akan suatu hal. Aha ... Satya pasti memang cemburu.

"Lo enggak perlu jelasin sedetail itu kali. Gue jadinya malah curiga kalo Lo beneran cemburu."

"Ck udah dibilangin juga. Gue enggak cemburu."

Hisyam kembali menatap Satya, membuat CEO Sanjaya Group itu memutar bola matanya jengah. Posisi duduknya ia buat semakin mendekat ke arah Satya. Tatapan matanya menelisik menatap mata Satya. Jarinya mengusap-usap dagunya sendiri seakan menilai apakah Satya berbohong atau tidak.

"Gini ... Lo tadi bilang Lo enggak suka Masita tunangan sama cowo lain, kan?"

"Iyalah. Dia mainin harga diri Gue."

Hisyam mengangguk-angguk, layaknya seorang detektif yang sedang menyelidiki informasi yang disampaikan saksi mata.

"Tapi harusnya Lo seneng, dong. Kalau dia tunangan berarti dia engga akan ganggu Lo lagi."

Satya berpikir sejenak. "Lo pikir Gue apaan. Gue tetap enggak terima kalau dia seenaknya tunangan sama orang lain."

"Terus Lo mau apa? Mau Masita tanggung jawab dengan tunangan sama Lo?"

Satya diam. Ada yang aneh dengan dirinya. Benar apa yang dikatakan Hisyam. Harusnya ia senang jika Masita sudah memiliki tunangan. Ia tak perlu khawatir Masita mengganggunya lagi. Tapi kenapa ia seakan tak rela?

Ia takut. Ia takut jika semua orang kantor menganggapnya sebagai seseorang yang memang pantas dipermainkan. Ia tak mau kejadian 13 tahun yang lalu terulang kembali. Ya, itu alasanya. Ia hanya takut, bukan karena mulai menyukai Masita.

Namun, sejak kapan ia peduli dengan perkataan orang? Belajar mencintai diri sendiri membuatnya menjadi orang yang tak acuh dengan persepsi orang lain. Tentang dirinya, ya hanya dirinya sendirilah yang tau. Apalagi statusnya sekarang adalah orang nomor satu di perusahaan miliknya sendiri. Ia punya kewenangan paling besar di sini. Lantas apa yang ia takutkan akan persepsi orang?

"Kenapa diam? Fix ini mah Lo beneran udah kena peletnya Masita." Hisyam membuyarkan lamunan Satya.

"Enak aja. Enggaklah. Gue cuma minta dia minta maaf sama Gue. Udah itu aja. Habis itu, dia mau tunangan, mau nikah, mau kawin, terserah dia," ujar Satya yakin.

"Oke. Nanti Gue bilangin ke Masita." Hisyam berdehem. "Tapi Lo beneran enggak cemburu, kan?"

Satya mendengus kesal. Ia ingin menjawab, tetapi seorang perempuan yang tiba-tiba masuk membuatnya terdiam.

"Siapa yang cemburu?"

"Eh Sofia."

"Siapa yang cemburu? Terus siapa yang dicemburuin?" Gadis cantik itu menatap Satya tajam.

Matilah aku, batin Satya. Sementara Hisyam telah berpamitan untuk kembali ke ruangannya.

Find A Husband (END)Where stories live. Discover now