29 : Sebuah Solusi

174 31 7
                                    

Dea menghela napas panjang beberapa kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dea menghela napas panjang beberapa kali. Kedua tangannya masih setia mendekap secangkir coffee yang sekarang sudah mulai mendingin, dan kepalanya masih setia menunduk seolah banyak beban berat yang membuat kepalanya tak bisa terangkat.

"Jadi, keputusan finalmu adalah mau kerja di kota Cirebon?" tanya Lia memastikan.

Dea mengangguk pelan. "Bisnis gue udah gak bisa diselamatkan." Tangan Dea terkepal kuat. "Si brengsek itu malah bawa kabur duit."

"Kamu gak mau ngejar dia? Kalau gak lapor pihak berwajib biar diusut," saran Lia dengan tatapan tersirat iba pada sahabatnya sedari SMA itu.

Sesaat Dea menyesap coffee-nya yang sekarang tersisa setengah. Tubuhnya ia sandarkan kamudian memejam. Kepalanya mendadak sakit.

Lia yang melihat Dea seperti itu jadi ikutan merasa kasian. Ia tak pernah mengira, laki-laki yang dulu dielu-elukan oleh Dea sekarang berbalik menikam perempuan itu.

Mata Dea terbuka, menatap ke jendela Cafe Rainbow, diluar hujan deras. "Kalau aja dulu gue tahu sebrengsek apa dia ...." Sesaat Dea semakin merapatkan bibirnya kuat. "Gue gak akan pernah sudi, kenal bahkan sampe memutuskan buat nikah sama dia. Padahal gue udah ngebantuin dia,tapi nyatanya ... dia gak tahu terimakasih." Suara Dea makin lirih tiap melontarkan kalimatnya, disetiap kata itu Lia tahu ada luka dan sakit yang amat perih. Dia mengerti Dea merasa dikhianati amat dalam oleh laki-laki yang dicintainya.

Lia beranjak, ia berpindah duduk di samping Dea. Tangannya mengusap bahu perempuan itu pelan kemudian mendekapnya. "Kamu perempuan yang kuat, De. Jangan merasa sendiri. Aku pasti bantuin kamu," kata Lia berharap kalimat yang ia lontarkan bisa sedikit meringankan beban dipundak Dea.

Lia melepaskan pelukannya. "Soal ... Raka gimana?" tanya Lia hati-hati.

Dea memaksakan senyumnya. "Gue belum bilang. Pilihannya yah, antara gue ajak Raka pindah atau gue sendiri aja pindah ke sana buat sekedar kerja."

"Kamu gak mau kerja di tempat aku aja? Di butik aku atau bantuin aku buat kue?" tawar Lia. Perempuan itu sebisa mungkin menawarkan hal yang bisa meringankan beban pikiran Dea.

Dea menggeleng. "Gak usah, Lia."

Dea beranjak setelah menghabiskan coffee-nya. "Gue balik dulu, ya."

Lia mengangguk. "Jangan sungkan hubungi aku ya."

Dea hanya mengangkat jempol, lantas melangkah keluar dari Cafe Rainbow. Perempuan itu mengambil payungnya yang tadi sempat ditinggal di luar Cafe. Kemudian ia pergi.

Di bawah guyuran hujan yang sudah mulai mereda, Dea melangkah tak tentu arah. Tujuannya bukan ke rumah, melainkan hanya ingin sekedar jalan-jalan saja sebentar. Mengusir pening yang sedari tadi belum sembuh.

Dea merasa kesal. Mengingat kebersamaannya dengan Riki, suaminya. Hatinya terasa terbakar akan amarah. Berapa kali pun ia menyesali jatuh cinta pada laki-laki itu, tak akan bisa mengembalikan keadaan rumit ini seperti semula. Memang sudah begini takdirnya. Tak semanis takdir Lia, sahabatnya. Meski Dea tahu seberapa terjalnya jalan yang harus dilalui Lia sampai akhirnya perempuan itu bisa menikah dengan Fahrian.

Kendali Rasa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang