Prolog

652 36 15
                                    

Dompo, Sumbawa, Tahun 1406 Masehi

Langit adalah atapnya dan lautan adalah pondasi. Angin adalah teman dan ombak adalah sahabat. Hidup bersama saya adalah hidup tanpa kepastian. Sama seperti lautan yang tak pernah bisa diukur pasti seberapa dalamnya. Apakah hidup seperti ini sanggup kamu lalui? Sebab saya tak akan pernah menjanjikan hidup penuh kedamaian.

Kalimat itu terngiang kembali di antara hidup dan matinya. Dia tidak tahu sudah seberapa jauh berlari dari mereka yang mengejarnya. Mungkin bisa saja sebentar lagi adalah waktu terakhirnya. Sejenak dia berhenti, mengambil napas dengan badan sedikit membungkuk. Tubuhnya tak lagi seperti dulu, kulit wajah dan tangannya telah berkerut. Sebagian rambutnya pun memutih.

Dengan konyolnya dalam pikirannya terlintas, andaikan sebentar lagi adalah saat terakhirnya, apakah dia tampak cantik di hadapan laki-laki itu? Apakah dia menjadi yang pertama atau yang kedua?

"Kejar Nyai Acaraki!"

Teriakan itu membangunkannya dari lamunan masa lalu, sehingga membuatnya terkesiap dan waspada. Kakinya dihela secepat mungkin, meski beberapa kali terkena patahan ranting atau kerikil. Dia tidak peduli. Namun, sekencang bagaimana pun larinya, tetap saja kalah gesit dari para prajurit itu.

Dia dikepung dengan kedua ujung tombak ditodongkan di sisi kanan dan kiri. Seketika tubuhnya mematung. Diam. Dan, hanya bisa memberikan tatapan memelas pada kedua prajurit yang ada di hadapannya--berharap para prajurit itu mengasihinya.

"Nyai Acaraki, katakan di mana para buron itu, maka nyawamu akan selamat," ucap salah satu prajurit dengan nada tegas cenderung menggertak.

Sorot matanya sengaja mencetak sendu dan sedikit berkaca-kaca. Diembuskannya perlahan napasnya yang masih agak tersengal. "Tuan-Tuan salah paham pada saya yang hanya seorang peracik jamu dan obat. Tentu saja saya tidak mengenal para buron yang Tuan-Tuan maksud," kilahnya.

Beberapa orang prajurit kembali datang dan ikut mengepungnya. Salah satu dari mereka maju dan mendekat. Dari penampilan dan gayanya, dia menilai mungkin laki-laki dengan kulit gelap, dan bekas sayatan di lengan kirinya itu adalah kepala pasukan yang mengejarnya.

"Nyai, demi hormat kami pada  anda, kami yakin, tentu anda tidak akan berkhianat pada Wilwatikta," ujar laki-laki tersebut dengan nada lebih lembut.

Belasan tahun dia meninggalkan tanah kelahirannya, bukan berarti pula dia kehilangan cintanya pada negeri Wilwatikta yang termasyhur. Apalagi bersikap bodoh dengan mengkhianati negerinya sendiri. Namun, Wilwatikta semenjak ditinggalkan Maharaja Sri Rajasanagara, memang tengah di ujung tanduk. Perang perebutan kekuasaan menyebabkan terbelahnya kedaton. Begitu yang dia dengar dari para buron yang menemuinya waktu itu.

Nyai, kami tidak bermaksud berkhianat. Banyak para Resi, Sisya dan Pandita berlari karena memilih menepi dari ingar bingar perpolitikan negeri. Kami hanya ingin menyelamatkan naskah-naskah yang dibuat dan dikumpulkan oleh Mahaguru kami, tanpa ada niat untuk berkhianat.

Ah! Ucapan dari salah satu dari tujuh buron yang menemuinya waktu itulah yang membuatnya mengambil keputusan dan tindakan.  Meski tahu bahwa keterlibatannya bisa berisiko membahayakan nyawanya dan dianggap berkhianat.

"Saya tidak tahu, Tuan. Kalian boleh membawa saya bila meragukan ucapan wanita tua ini."  Kali ini dia mengucapkannya penuh penegasan.

Beberapa prajurit itu saling tatap untuk sejenak, dan saling memberi kode. Kemudian laki-laki bercodet di lengan kiri itu memberi titah. "Bawa wanita itu. Bila kelembutan tak mampu membuatnya membuka mulut, mungkin kita harus paksa  bibir keriputnya itu untuk berkata jujur!"

Seketika kedua lengan kurusnya didekap dengan kasar--bahkan lebih terasa seperti remasan yang sanggup meremukkan tubuhnya. Dia diseret. Dipaksa untuk berjalan cepat dengan ujung tombak yang berada tepat di punggungnya. Sesekali ujung tombak itu menyentuh kulitnya, mengantarkan rasa perih yang menyengat.

Namun, sedikit goresan luka itu tak dipedulikannya. Apa yang dia lakukan belum seberapa dengan apa yang menjadi tujuannya. Dalam keadaan tidak berdaya seperti sekarang, matanya terpejam dan hanya berbicara pada dirinya sendiri.

Keputusanku tidak salah, kan, Tuan, menyelamatkan ketujuh orang tersebut?

Dia meyakinkan dirinya sekali lagi,  bahwa keputusan yang diambilnya adalah hal yang tepat. Setidaknya, ucapan laki-laki itu padanya dulu lah yang mendasari tindakannya.

Tanah ini akan menjadi tempat dan awal yang baru. Meninggalkan segala luka dan dosa masa lalu. Namun, di mana pun dan kapan pun bakti pada tanah kelahiran Wilwatikta tidak boleh terlupakan. Jika hal kecil yang kita lakukan tidak berguna di masa kini, mungkin di masa yang akan datang, hal kecil itu akan menjadi sebuah hal yang penting bagi negeri.

***

Selasa, 24 Januari 2023

Catatan:

Acaraki: Sebutan untuk profesi peracik jamu pada zaman dulu berdasarkan prasasti Madhawapura peninggalan Majapahit.

Gimana dengan prolognya? Lanjut nggak?

Halo, kita ketemu lagi di cerita fiksi sejarahku yang kedua. Jika yang pertama adalah tentang Tribhuana Tunggadewi—Rajaputri—perempuan pertama yang memimpin Majapahit, kali ini kita akan berkenalan dengan sosok Mpu Nala.

Adakah yang pernah kenal atau mendengar nama Mpu Nala?

Jujur saja, aku deg-degan untuk menulis cerita ini, bahkan aku sendiri takut berekspektasi pada cerita ini. Yang aku pengin cuma dua; teman-teman menikmati cerita ini dan mengenal Mpu Nala dari fiksi sejarah ini.

Meski sekali lagi aku tekankan ini adalah fiksi, sehingga beberapa peristiwa yang ada dalam novel ini terjadi sesuai pemaparan sumber sejarah, yang bisa bersumber dari; Kitab sezaman, prasasti, kidung, dan hikayat dari beberapa daerah. Dan, tentunya akan disesuaikan untuk kepentingan cerita.

Setiap bab, akan aku usahakan menulis catatan kaki bila ada, terutama yang berkenaan dengan peristiwa sejarah atau sumbernya. Tentunya aku masih belajar dan bukan ahli sejarah, sehingga bila ada kesalahan sumber dan penulisan boleh dibantu krisan lewat komentar ataupun inbox.

Last but not least, hehehe, kali ini kita senang-senang, ya, jalan-jalan mengarungi lautan. Semoga kisah romansanya bikin kalian gemes geregetan bukan sendu kayak si Mas-Mas Majapahit Arya Bhanu yang nyasar di zaman covid, wkwkwk.

Terima kasih atas waktu teman-teman membaca kisah yang aku buat dari penulis receh macam aku ini. Sehat-sehat dan semoga lancar rezeki kalian dan tetap tangguh dan sabar di segala medan kehidupan. 

MPU NALA: Memoar Sang LaksmanaWhere stories live. Discover now