1. Titah Sri Rajasanagara

138 18 4
                                    

Majapahit, Tahun 1357 Masehi

Kakinya kembali menjejak kotaraja Majapahit setelah melakukan perjalanan pengamatan tentang wilayah kerajaan di Tanjung Pura (kini Kalimantan). Sudah sejak beberapa tahun Majapahit mendengar tentang bagaimana negeri-negeri di Tanjung Pura yang kaya dan makmur. Benda-benda banyak terbuat dari emas dan bangunan yang cantik. Penduduknya dominan berkulit lebih cerah dari penduduk Jawa Dwipa. Faktor sumber daya alam dan potensi perdagangan lah yang mendasari Majapahit melakukan perluasan wilayah kekuasaan dan pengaruhnya.

Namun, tampaknya daerah di Tanjung Pura tidak mudah untuk ditaklukan. Majapahit sendiri tidak ingin terang-terangan melakukan penyerangan, sehingga sejak beberapa tahun lalu, mengirimnya yang menyamar sebagai Nahkoda kapal dagang dari Jawa Dwipa. Setelah hampir beberapa bulan di daerah Tanjung Pura tepatnya di kerajaan Nan Sarunai, Nala diminta untuk kembali oleh Sang Maharaja Sri Rajasanagara.

Badannya hampir sama besar dan tinggi dengan Sang Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada. Wajahnya yang tegas semakin menonjol dengan garis rahang kokohnya serta alis tebalnya yang menukik tinggi—bila dikerutkannya alis tersebut tampak seperti menyatu di tengah. Sembari memegang patakanya yang selalu terselip di timang, Nala terus berjalan menuju Bale Manguntur untuk bertemu raja.

"Tuan Rakyan Tumenggung Nala," sapa seseorang yang menyebut namanya.

Nala menghentikan langkahnya, dan menoleh pada sosok yang memanggilnya. Dia pun mengangguk—seperti memberi hormat—kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju Bale Manguntur. Laki-laki yang di sampingnya itu terlihat begitu semringah dan cerah, sembari memegang sebuah gulungan—yang entah apa itu.

"Tumenggung Nala, apakah kamu tahu mengenai ucapan banyak orang yang telah melakukan perjalanan dari tanah Sunda memang benar adanya, bahwa perempuan-perempuan di tanah Sunda yang sekitar kerajaannya itu dikelilingi bukit-bukit hijau dan bercuaca sejuk dan dingin, memang cantik-cantik," ujarnya dengan binar cerah di matanya.

"Apa Patih Madu menikmati tugas perjalanan dari Yang Mulia Gusti Prabu?" tanya Nala pada Patih yang bernama Madu.

"Sangat! Bahkan saya tak pernah lepas pandangan saat Sang Putri tengah dilukis oleh juru lukis kita," ucap Patih Madu lagi dengan lebih semangat.

Nala menghentikan langkahnya, padahal Bale Manguntur sudah tampak depan mata. Dia menoleh dan memberikan tatapan agak tajam pada Patih Madu. Mencondongkan wajahnya dan bersuara pelan pada Patih Madu. "Hati-hati. Yang Patih Madu ucapkan barusan bisa membahayakan keselamatan Patih Madu sendiri, sebab perempuan cantik yang Patih Madu ucapkan bisa jadi adalah calon permaisuri Yang Mulia Gusti Prabu."

Patih Madu terhenyak. Ucapan Nala benar, bahwa dia terlalu bersemangat bercerita dan memuji kecantikan Sang Putri dari tanah Pasundan tersebut. Patih Madu mendesah lega, sebab yang mengatakan padanya adalah Nala—yang tegas dan tidak terlalu suka mencampuri urusan orang lain. Bagaimana bila dia menceritakan pada Rakyan yang lain, bisa-bisa sebelum mencapai ke Bale Manguntur, kepalanya sudah terpenggal.

Patih Madu pun mengekori Sang Tumenggung dan disambut dengan para penjaga di depan Bale Manguntur. Kedatangan mereka tampaknya memang tengah ditunggu, sebab di dalam Bale tersebut, Sang Rajasanagara sudah duduk di dampar kencana dan dan di sebelah kanannya sedikit ke bawah, adalah tempat duduk Sang Mahapatih Gajah Mada. Sedang di lantai yang lebih rendah, adalah tempat duduk para pejabat istiana lainnya dan juga para Dharmadyaksa.

Keduanya berlutut dan memberikan hormat pada Sang Rajasanagara. Setelah dipersilakan duduk menempati tempatnya, Sang Rajasanagara memulai pertemuan. Suara Sang Raja kini lebih terdengar matang dan berat di usianya yang menginjak 23 tahun.

"Patih Madu, apakah kamu sudah menunaikan tugasmu?" tanya Sang Rajasanagara.

"Sudah, Gusti Prabu. Juru lukis kita sudah menggambarkan sosok Putri Dyah Pitaloka dengan saksama." Setelah mengatakannya, Patih Madu berdiri dan menuju pada salah satu abdi untuk memberikannya pada Rajasanagara. Hal ini pun tak luput dari pandangan Nala.

MPU NALA: Memoar Sang LaksmanaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin