hanging out

216 12 0
                                    

Lepas bercinta subuh tadi aku meminta izin mas Herman untuk keluar bersama Ema. Bisakan aku menyebutnya bercinta? Karena bercinta itu dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Sedangkan aku sudah tidak merasakan cinta itu lagi. Kami hanya dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama tanpa perasaan apa-apa, setidaknya itu yang aku rasakan. Dan berbeda dari hari biasanya, Mas Herman mengizinkan tanpa ada pertanyaan memojokkan atau kalimat menyakitkan seperti yang sering terlontar.

Zahra juga ada acara dengan teman sekolahnya, jadi tidak ada salahnya aku menikmati diriku sendiri.

Pukul 11 siang aku sudah siap dengan pakaian casual tertutup dan make up minimalis, rambut keriting pendekku sudah rapi, aku bercermin dan memantas diri, begitu banyak waktu berlalu tanpa sempat mengetuk pintu. Sisa-sisa masa mudaku telah berganti dengan wajah dewasa yang ada di hadapku. Mungkin sudah terlalu banyak hal yang terjadi, sehingga aku lupa kapan terakhir kali aku bahagia.

Aku tersenyum sambil menyubit lemak yang bandel di pipiku, tak tampak menonjol lagi lesung pipit yang dulu tanpa tersenyum pun akan terlihat. Waktu merubah bentuk tubuhku, meskipun tidak terbilang gendut tapi aku sekarang lebih berisi. Khas ibu-ibu sekali.

"Udah siap neng?" Ema datang naik mobilnya sudah persis sopir grab.

Sementara aku tertawa sambil menghampiri jazz miliknya.

"Ku pikir naik motor, aku pake celana jeans biar simple kalau kamu boncengin. Tau gitu tadi pake mini dress, gerah banget soalnya." Sambil ku pasangkan seatbelt ke tubuh.

"Justru panas, males naik motor!" Katanya, "suamimu tumben ngebolehin kamu jalan"

"Udah keluar dari pagi, ada acara katanya. Zahra juga lagi ada acara sama teman temannya"

"Lu tu masih cakep Rhe, sering sering lah dandan, biar laku. Tinggalin aja suami kampret lu itu." Kata Ema sambil melajukan mobilnya.

"Lu muji gue, jangan jangan lu naksir ma gue" candaku yang langsung dapat geplakan di lengan.

"Enak aja, Gandhi mau gue kemanain. Gue juga masih doyan pisang"
Katanya sambil tertawa. Aku dan Ema itu sangat receh, hal kecilpun suka kami ghibahin.

Kami habiskan waktu kurang lebih 45 menit menuju cafe yang dimaksud Ema. Jalan menuju kesana sangat berliku, dan aku sempat takjub melihat almamaterku yang nampaknya sudah di bangun. Di sebelah Boulevard tempat aku biasa nongkrong sepulang sekolah agaknya ada bangunan baru. Mungkin perpustakaan? Atau koperasi? Sedikit kupandang lebih jauh tak nampak lapangan basket tempat Arfi biasa main, apakah lapangan basketnya pindah?

Kenapa harus lewat sini, kan aku jadi ingat yang lalu-lalu. Dasar Ema laknat. Eh, tapi Ema kan nggak tahu ini almamaterku.

Mobil semakin pelan, berbelok dari arah sunga besar dekat sekolah. Lho, bukankah ini arah taman kecil bergubuk itu. Tamannya sekarang sudah tidak ada, berganti dengan sebuah cafe yang lumayan ramai. Terparkir beberapa kendaraan. Jantungku berdebar, bahkan tempat yang dulu aku kunjungi pun masih mampu melemahkan persendianku.

"Selamat siang kak, " sapa waitres yang sedang berlalu lalang melayani pelanggan.

Cafe ini cozi sekali. Di seberang bangunan, kita bisa melihat hamparan sungai dan gemericiknya. Dulu tepat dimana cafe ini berdiri aku dan Arfi sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar melepas penat sambil mendengar suara air mengalir. Aku tersenyum mengingat hal kecil yang dulu pernah kami lakukan.

"Mau pesan apa kak?" Sapa waitres tersebut ramah.

"Menu spesialnya apa mbak?" Tanya Ema sambil membolak balikkan buku menu.

Waitress tersebut menyebutkan beberapa menu,
"Disini kami juga menyediakan Ice tea with lemon and honey, itu minuman yang saat ini sedang sangat diminati." Promonya bersemangat tapi masih sangat ramah dan sopan. Dan aku memesan es tersebut. Cuaca panas memang paling cocok minum yang segar.

Padahal hanya es teh lemon dan madu, tapi mampu membuatku tersenyum senyum. Aku ingat dulu dalam setiap kesempatan Arfi suka sekali memintaku membuatkan es teh lemon dikasih madu, katanya segar dan dia suka.

"Lu kenapa deh Rhe dari tadi senyum senyum mulu. Nggak kesambet kan?"

"Kagak, seneng aja akhirnya bisa keluar dari rumah tanpa direcoki suami."

"Lagian disuruh cerai nggak mau, " isshh, itu lagi..itu lagi.

"Ntar kalau gua cerai beneran lu mau nampung gue sama anak gue?"

Tanyaku sembari menolehkan kepala ke arah taman di ujung dekat sungai. Disana aku lihat ada orang yang sedang merokok sambil meletakkan satu tangannya di kantong saku. Kemeja navy dan celana jeana serta bertopi, pas sekali dengan postur tubuhnya. Punggungnya tegap, posturnya tinggi berisi.

"Silahkan diminum kak!" Waitres datang membawakan es teh buatku dan bubble tea buat Ema, dia juga berhasil mengalihkan mataku dari orang yang merokok tadi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Silahkan diminum kak!" Waitres datang membawakan es teh buatku dan bubble tea buat Ema, dia juga berhasil mengalihkan mataku dari orang yang merokok tadi. Kenapa pula aku mengamati postur tubuh orang lain. Aku merasa aneh dengan diriku sendiri.

Aku dan Ema mengobrol kesana kemari, menceritakan rencana hidup dan hal random lainya. Tak terasa waktu 2 jam sudah kami habiskan, tempat yang sangat nyaman dan juga suasana yang cozy rasanya telah melenturkan otot otakku yang kaku. Pinter juga Ema memilih tempat nongkrong.

"Aku ke toilet dulu ya Em, ntar kebelet di jalan berabe"

"Ok sip, gantian aja ntar!" Balasnya

Aku berjalan ke toilet sambil merunduk mencari tissue basah, dari bilik sebelah kiri arah toilet keluar seseorang secara tiba-tiba dan menabrakku, aku sempat terhuyung dan hampir terjerembab sampe orang tadi menarik pinggangku. Mata kami bertemu, dan saat itu aku merasa dunia berhenti. Pria tadi refleks melepas rengkuhannya. Dan aku langsung terjatuh terduduk. Dia berbalik dan masuk kembali ke bilik dimana tadi dia berasal. Dan ketika pintu tertutup agak keras aku baru tersadar dari rasa kagetku.

Ema datang menghampiriku, karena suara debuman pintu kemungkinan membuat beberapa customer kaget. Ema membantuku berdiri.

"Kenapa Rhe, kamu nggak apa apa?" Tanyanya lumayan panik, padahal kami di dalam cafe dan sangat minim kejahatan. Tapi melihat aku jatuh terduduk dan ditolong beberapa karyawan yang membuat Ema panik.

"Nggak apa-apa, tadi nggak sengaja tabrakan sama orang, karena migrainku kambuh jadi agak linglung aja".

Aku batal ke toilet, dan kembali ke tempat dudukku. Berganti Ema yang meminta izin ke toilet. Pikiranku masih melayang ke kejadian beberapa saat lalu, masih hilang timbul antara terkejut dan rasa tidak percaya.

Kemudian dia sudah berdiri di hadapanku dan hendak menyeretku pergi dari sana. Aku hendak menolak, tapi tatapannya seolah menusukku. Tanpa berkata apapun dia menarik pergelangan tanganku dan membawaku pergi dari cafe itu.

in the endWhere stories live. Discover now