07. Ucapan terima kasih

30 6 0
                                    

Naren menatap Rania yang sudah terbaring lemah di atas kasur. Kedatangannya membawa Rania yang tak sadarkan diri membuat bi Mina dan pak Adhi kalang kabut. Pasangan suami istri itu sangat menampilkan raut yang teramat khawatir.

Sekarang keadaan Naren sudah rapi, pak Adhi dengan senang hati meminjamkannya baju. Namun, dirinya masih belum diperbolehkan pulang sebelum hujan mereda.

Terdengar suara sepatu dari belakang, Naren dengan cepat menoleh. Di ujung pintu terdapat pria paruh baya yang juga pernah ia temui pagi tadi. Kali ini dengan raut wajah yang sangat berbeda.

"Om..." Naren berdiri dan menyalimi Gio.

Gio tersenyum seraya menatap Naren dalam, kemudian beralih pada sang putri yang terbaring dengan mata terpejam.

Sedikit demi sedikit kaki itu melangkah hingga sampai di samping Rania. Diusapnya rambut hitam nan panjang itu. "Maafin Papah, nak..." ucap Gio lirih.

Laki-laki paruh baya itu merasa sedih.  Dirinya menyadari jika selama ini dia tidak selalu ada untuk anak semata wayangnya itu, selalu ada orang lain yang menyelamatkan sebelum dirinya.

Gio merasa dirinya tidak berguna.

Naren hanya diam menyaksikan bagaimana cara Gio menatap Rania. Begitu dalam dan memancarkan penyesalan.

Naren hanyut dengan apa yang dilihatnya, namun kembali tersadar ketika Gio bangkit dan menghampiri dirinya.

"Sepuluh menit, saya tunggu kamu di bawah," ucap Gio sebelum pergi.

Semenjak pertama kali menginjakan kaki di rumah ini, Naren menduga ada hal yang tidak beres dan sekarang Naren semakin yakin dengan dugaan itu.

Naren menatap Rania sebentar sebelum pergi menemui Gio.

Di sinilah Naren berada, di ruang tamu milik keluarga Ananta. Di hadapannya Gio menata Naren dengan sangat serius.

"Sebelumnya saya sangat berterima kasih karena kamu sudah membawa Rania pulang. Tapi apa saya boleh tahu bagaimana kamu bisa bertemu dengan anak saya?"

"Om nggak perlu berterima kasih sama saya, Om. Saya sebagai teman satu sekolah merasa bertanggung jawab membawa Rania pulang. Untuk bagaimana saya bisa ketemu Rania, saya tahu jika Rania keluar rumah dan saya tahu jika Rania takut petir. Saat hujan mulai turun saya mencari Rania, meski saya tidak tahu Rania pergi ke mana," jawab Naren panjang lebar.

Gio mengangguk tanda mengerti. "Bukannya hubungan kalian lebih dari teman?"

"Iya, Om." Tanpa rasa ragu Naren mengiya kan ucapan Gio.

Gio tersenyum. "Saya tidak akan melarangnya kalian. Saya mohon tolong jaga anak saya, jangan buat dia sedih ataupun terluka. Dia anak saya satu-satunya."

"Iya, Om. Saya akan berusaha jagain Rania, meskipun nyawa saya taruhannya."

"Semoga kali ini Rania memilih orang yang tepat," batin Gio.

🥀

Jam sebelas lewat lima belas menit Naren baru sampai di rumahnya. Saat hendak membuka pintu, pintu itu sudah terbuka menampakan sang ibu yang menatapnya tajam.

"Dari mana aja kamu?"

Satu kata itu membuat bulu kuduk Naren berdiri. Ini lebih menyeramkan ketimbang berbicara dengan Gio.

"Biarin Naren masuk dulu ya, Bun. Nanti Naren ceritain."

"Nggak, ceritain dulu baru masuk."

"Masa Bunda tega, di luar dingin banget loh, Bun."

"Dari tadi kamu kan di luar sampe gak inget ngabarin Bunda."

Naren sudah tidak berkata apa-apa lagi selain menceritakan kejadian yang sebenarnya agar bisa masuk.

"Ceritanya gini, Bun...." Naren menceritakannya tanpa ada satu hal pun yang terlewat, dimulai dia merasa khawatir hingga berakhir di rumah Rania tidak diperbolehkan pulang sebelum hujan reda.

Naira menutup mulutnya tidak percaya. Ini benar-benar anaknya atau bukan? Setelah hampir lima tahun akhirnya Naren kembali seperti dulu.

Naira memeluk Naren, dia merasa bangga terhadap anaknya.

"Tapi kamu gak papa, kan? Gak ada yang luka? Sekarang gimana keadaan cewek yang kamu tolongin? Baik-baik aja kan?"

"Bun... Satu-satu dong." Naira sedikit terkekeh. "Pertama Naren baik-baik aja, gak ada yang luka sedikitpun. Kalau Rania, Naren belum tahu, sebelum Naren pulang Rania masih belum sadar."

"Astaga... Semoga gak kenapa-napa ya.  Yaudah ayo masuk, katanya dingin. Besok kamu harus jengukin dia."

"Bunda gak mau ikut?" tanya Naren.

"Pengen sih, tapi Bunda harus jemput ayah di bandara. Lain kali ajak anaknya kesini ya."

"Iya, Bun."

🥀

Awalnya Naren kira apa yang dikatakan sang ibu hanya ucapan semata, nyatanya bukan.

Sesuai dengan yang Naira katakan pada Naren semalam, bahwa Naren harus menjenguk Rania. Pagi sekali, Naira mulai memasak untuk dibawa ke rumah calon menantunya. Semoga saja.

Naira terkekeh melihat ekspresi sang anak ketika malihat apa saja yang sudah ia masak.

"Bun, ini banyak banget. Nggak dibawa semua kan?" tanya Naren.

"Ya nggak lah. Udah sana mandi terus siap-siap, Bunda mau siapin apa aja yang harus kamu bawa."

Naira sangat senang, tak lama lagi dirinya akan kembali mendapatkan teman memasak setelah empat tahun berlalu.

Semuanya selesai dalam hitungan menit. Jujur sangat tidak sabar ingin bertemu dengan wanita yang disukai anaknya itu. Sepengetahuan Naira, Rania adalah anak yang baik, pendiam dan berasal dari keluarga yang tidak biasa.

"Naren, cepetan nanti keburu siang!"

Naren segera turun setelah mendengar teriakan sang bunda. Bundanya itu sungguh ahli dalam merepotkan diri sendiri. Yang akan menjenguk siapa, yang repot siapa.

"Sabar, Bun. Jangan teriak-teriak, lagian ini masih pagi banget," jawab Naren seraya melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.

"Kata siapa pagi? Ini udah cukup siang. Udah deh, Bunda titip ini ya sama salam dari Bunda, nanti kalau udah sembuh ajak ke sini ya?"

Naren hanya mengangguk, menerima sebuah paperbag yang disodorkan oleh sang ibu kemudian segera pergi setelah berpamitan.












Telat berapa hari nih?

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang