19. Putus?

17 8 1
                                    

"Rania!"

Naren berlari bak orang kesetanan. Setelah bel istirahat berbunyi Naren dengan cepat bergegas menuju kelas Rania.

Kini Rania sudah berada di hadapannya, menatap dengan raut wajah yang sama persis saat kali kedua mereka berinteraksi di rooftop kala itu.

"Kamu kenapa? Natapnya gitu banget."

Rania hanya menghela nafasnya sebagai jawaban. Ia hendah pergi, namun dengan cepat Naren menarik tangannya hingga jarak keduanya bisa di hitung cm.

Pada kesempatan itu, Naren memeluk Rania di hadapan para siswa yang berada di kelas itu.

Ricuh? Tentu saja.

"Aaa.. Gue iri liatnya."

"Sweet banget sih."

"Lepas!" Rania mendorong tubuh Naren kuat hingga pelukan Naren terlepas.

Kelas yang semulanya ricuh kini menjadi hening karena teriakan Rania.

"Kamu kenapa?" tanya Naren.

"Gue mau kita putus," jawab Rania dengan menekan kata putus.

Rania hendak pergi namun lagi-lagi Naren menahannya.

"Ran, kamu kenapa? Aku salah apa? Kenapa tiba-tiba?"

"Pikir aja sendiri!"

"Ran-"

"Lo tuh sama aja, Ren!"

Naren mengusap wajahnya kasar saat Rania benar-benar pergi dari hadapannya.

Naren terus bertanya-tanya dalam benaknya, Sebenarnya ada apa? Kenapa Ranianya jadi seperti ini?

🥀

Menangis? Mungkin itu adalah pilihan yang salah. Tapi Rania sudah melakukannya.

Menangisi seseorang yang telah membuatnya sakit adalah hal yang paling Rania benci.

"Lo liat kan? Pacar yang lo bangga-banggain ternyata gak ada bedanya sama gue dulu. Gue jamin, Ran. Lo gak akan dapetin kebahagian kalau lo gak sama gue-"

"BANGKE PERGI GAK LO DARI SINI!" Rania berteriak sambil melemparkan sepatu ke arah Sagara dan berhasil mengenai bahunya.

Bukannya merasa kesakitan Sagara malah tertawa tipis yang terkesan meremehkan. "Gue yakin, lo bakal nyesel udah diniin gue, Ran," ucap Sagara sebelum akhirnya pergi.

Rania menghapus jejak air matanya, helaan nafas terdengar dari gadis berambut panjang itu.

"Gak, gue gak boleh lemah. Gue udah lewatin ini sebelumnya, jadi gak boleh nangis lagi," monolognya.

Baru saja Rania berbalik dendak pergi, tapi kehadiran Rio membuatnya menghentikan langkah.

"Lo abis nangis?" tanya Rio.

Rania tersenyum kecil dan menggeleng. "Kata siapa? Enggak kok."

"Mata lo sembab."

"Ya ngapain lo nanya lagi, sih? Kan udah tahu jawabannya!"

"Kenapa lo putusin Naren?"

Pertanyaan yang spontan dan tiba-tiba itu membuat Rania terdiam.

"Kenapa diem, Ran?" Rio mendekat, megurangi jarak antara keduanya. "Kenapa lo putusin Naren kalau ujungnya lo juga yang nangis?"

"Gue punya alasan untuk itu," ujar Rania.

"Ya, apa?!" Dalam hati Rio merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol nada bicaranya.

"Lo gak akan ngerti walaupun gue jelasin sampe mulut gue berbusa sekali pun!" Setelah mengatakan hal itu dengan amarah yang menggebu, Rania pergi dari hadapan Rio dengan sedikit menabrakan bahu keduanya.

Rania marah. Marah pada dirinya sendiri, kenapa dia menerima orang baru dalam hidupnya?

Rio menatap kepergian Rania dengan pandangan sayu, hatinya ikut sakit melihat mata Rania yang terlihat sembab meskipun tidak terlalu jelas.

"Gue akan ikut sakit liat orang yang gue sayang nangis, Ran. Lo harusnya bahagia sama gue, bukan Naren. Maaf, Ran. Gue sayang sama lo."

🥀

Biasanya Rania akan merasa seperti orang paling bahagia ketika bel pulang berbunyi. Tapi hari ini tidak, Rania tampaknya sudah tidak peduli ini jam pulang atau bukan.

Hari ini melelahkan. Setelah kembali dari taman belakang, Rania diserbu oleh banyak pertanyaan. Tapi satupun tidak ada yang Rania jawab, Rania terlalu malas membahas sesuatu yang Rania tidak suka.

"Mau bareng lagi gak?"

Rania menoleh pada Dion yang kini sudah berada di sebelahnya.

"Gue di jemput pak Adhi, lo duluan aja," jawab Rania.

"Alahh.. Gak usah coba-coba bohongin gue deh, lo. Gini ya, Nyonya Rania Ananta yang terhormat, gue tahu lo kaya gimana. Gue sih yakin, abis ini lo gak langsung pulang ke rumah."

"Lah, pulang ke mana dong gue?"

"Ke hati gue aja, mau gak?" tanya Dion dengan alis di naik-turunkan.

"Jijik gue liatnya," ucap Rania dengan raut wajah seakan ingin muntah.

Dion tertawa melihat hal itu. Ada hal yang sangat Dion sukai tapi jarang di lakukan. Ya, menggoda Rania.

"Udah deh, ayo. Jalan lo lama banget, kaya semut." Dion menaik tangan Rania hingga mengikutinya.

Interaksi antara keduanya tidak luput dari pandangan orang-orang, terlebih orang yang suka menggosip.

Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan antar keduanya. Entahlah, tiba-tiba semuanya terasa canggung.

"Makasih ya, hati-hati," ucap Rania yang baru saja keluar dari mobil yang dikendarai Dion.

Dion hanya mengangguk sebagai balasan sebelum akhirnya pergi dari depan Rania.

Rania tersenyum ramah pada Pak Adhi yang membukan pintu gerbang untuknya. Rania berharap ia bisa beristirahat dengan tenang setelah ini.

Langkah Rania terhenti saat melihat seseorang yang tidak ingin ia temui berada di ruang tamu. Rania segera berlari ke luar sebelum orang itu mengetahui keberadaannya.

Rania benar-benar berlari menjauh dari rumahnya sendiri. Untungnya pak Adhi tidak melihat kepergiannya meski ujungnya mereka akan tahu melalui rekaman cctv. Tapi apapun yang akan terjadi nantinya Rania tidak peduli, yang terpenting ia tidak menemui manusia bernama Naren itu terlebih dahulu.

Lagi, lagi dan lagi. Sepertinya berjalan tanpa dan berakhir di taman yang membuatnya sakit dua kali adalah takdir dari seorang Rania Ananta.

"SIALAN KENAPA GUE HARUS BERAKHIR DI TEMPAT INI LAGI!!"









Annyeong!
Apa kabar? Gimana Mei nya?
Aku jarang banget ya updatenya? Aku lagi bikin draf di cerita lain makanya lama. Cerita ini juga kemungkinan tinggal 14 bab lagi.

Tolong suport terus ya! Bye bye

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang