29. Pengakuan Sagara

10 2 1
                                    

Rania menatap sendu sarapannya. Saat ini ia berada di ruang makan bersama sang ayah, rasanya sangat canggung. Rania benci hal itu.

Bahkan Gio sendiri sebenarnya tidak mau berada di posisi secanggung ini dengan anaknya sendiri.

"Nia," panggil Gio.

Rania yang semula menunduk seketika melihat ke arah Gio, ia cukup terkejut.

"Hari ini biar Papah yang anter kamu, ya?"

"Emang Papah ada waktu?" tanya Rania polos.

Tidak salah dengan pertanyaan itu, tapi cukup menohok hati Gio. Selama ini ia selalu tidak punya waktu untuk anaknya sendiri bahkan hanya sekadar mengantarnya sekolah.

"Papah akan selalu ada mulai sekarang."

Rania tersenyum getir. "Kenapa baru sekarang? Kemarin-kemarin ke mana aja?"

Lagi-lagi Gio bungkam dengan pertanyaan Rania. Gio sadar ia salah, tapi ini membuatnya semakin bersalah.

"Tapi kayanya gak usah, Pah. Naren kayanya udah jemput di depan." Rania meraih ranselnya dan mulai melangkah pergi.

"Nia kalau gak mau dianter sama Papah, sama pak Adhi aja. Papah tahu kalian udah putus, lagi pula Naren lagi cedera jadi gak mungkin bisa jemput," ujar Gio seraya memandang pergerakan Rania yang semakin menjauh dari pandangannya.

"Sebenci itu kamu sama Papah?"

🥀

Rania terus berjalan menuju sekolahnya, ia tak peduli jika sampai sana ia akan terlambat. Pak Adhi sudah memintanya untuk diantar saja, tapi Rania tetap kekeuh menolak.

"Di kira gue gak bisa jalan jauh apa?" gerutu Rania.

Jam sudah menunjukan pukul 6 : 50, yang artinya tak lama lagi bel masuk berbunyi. Sedangkan Rania masih cukup jauh untuk sampai. Awalnya yang tak peduli jadi mempercepat langkahnya.

Karena terlalu fokus, Rania sampai tidak sadar jika darah sudah mulai menetes dari hidungnya.

Kik.

Klakson mobil membuatnya sedikit terperanjat. Rania tahu siapa yang membawa mobil itu, dia sosok yang Rania benci, Sagara.

Rania terus mempercepat langkahnya, begitu pula dengan Sagara, ia terus menyalakan klakson dan mengejar Rania.

"Woy! Jalanan gede, ngapain klaksonin gue terus!" Karena sudah sangat jengah, Rania akhirnya berhenti.

Sebenarnya ini yang sagara inginkan. Ia segera keluar tak lupa membawa tisu lalu menyerahkannya pada Rania.

Sorot mata kebencian tak luput dari pandangan Sagara. Sagara sadar jika telah memilih langkah yang salah.

"Lo mimisan. Masuk ke mobil, bentar lagi bel. Kondisi lo bisa makin buruk kalau dapet hukuman di sekolah nanti."

"Gak usah sok peduli." Rania hendak pergi namun pergelangannya di cekal.

"Bukan sok peduli, tapi kemanusiaan." Sagara menarik Rania hingga masuk ke dalam mobil.

Bukannya tak mau melawan, tapi Rania tak punya tenaga, badannya terasa sangat lemas setelah melihat darah yang keluar dari hidungnya. Sebelumnya ia kira Sagara hanya mencari alasan untuk menghampirinya.

Di dalam mobil, Sagara langsung melajukannya namun jalur yang ia lewati bertolak belakang, bukan menuju sekolah.

Rania berdecak kesal saat menyadari jika tak seharusnya ia berada di jalur itu. "Sagara! Lo gila? Ini bukan jalan ke sekolah."

Sagara menggeleng. "Gue gak gila."

"Berhenti atau gue lompat?"

Sagara menghela nafasnya, ia memilih berhenti namun dengan segaja mengunci pintunya.

"Buka kuncinya."

"Gak."

"Sagara buka kuncinya!"

"Gue bilang nggak, ya nggak Rania! Kalau gue buka dan lo pergi, masalah kita gak akan pernah jelas sampai kapanpun!" Sagara sengaja menaikan nada bicaranya agar Rania diam. Namun dugaannya salah besar.

"Masalah kita? Lo doang kali yang bermasalah?" tanya Rania dengan tatapan tajam.

Sagara mengacak-acak ramputnya prustasi, ia meraih sebuah tas di kursi belakang lalu menaruhnya di pangkuan Rania.

"Ini semua barang dan duit yang pernah gue minta dari lo. Sepeserpun gak gue pake, karena gue gak butuh sama sekali. Yang gue butuhin saat itu kebahagiaan lo," ujar Sagara.

Rania tertawa sinis, badannya yang terasa lemas seketika terasa lebih berenergi setelah mendengar hal itu. Ia rasa sekedar meladeni alasan Sagara, energinya sudah kebih dari cukup. "Bahagia? Lo pengen gue bahagia tapi lo sendiri yang nyakitin gue?"

"Gue lakuin itu supaya lo bisa ketemu sama Aksa-"

"Logikanya di mana? Lo kalau salah, ya salah aja. Gak perlu berlindung di balik nama orang-orang yang gue sayang." Saat mendengar nama Aksa, Rania hilang kendali hingga menyela ucapan Sagara.

"Gue kira Aksa bakal datang di saat liat adiknya disakiti, tapi tetnyata nggak. Itu rencana gue, Ran. Lo gak tahu kan? Temen mantan pacar lo yang kemarin, Atha, dia selalu ngasih kabar apapun tentang lo ke Aksa. Kakak lo yang selalu ditunggu kedatangannya itu, malah nitipin lo ke Atha ketimbang dia sendiri yang jagain," ujar Sagara dengan emosi yang tertahan.

"Lo gak tahu apa-apa, Kak Aksa itu-"

"Berada di bawah tekanan ibunya? Basi, Rania. Lo lupa? Gue tahu semunya tentang kalian. Asal lo tahu Rania, manusia gak punya hati itu udah sakit-sakitan, dia udah gak bisa nekan kakak lo lagi."

Rania terdiam mendengar hal itu, ia lupa jika Sagara pernah menjadi tempat bersandarnya.

"Semuanya udah gak kaya dulu, keadaannya udah berubah. Aksa bukan lagi terhalang, tapi enggan. Mungkin kecuali satu, perasaan gue ke lo, Ran. Gue terlalu mikirin lo sampe lupa sama perasaan gue sendiri. Cinta gue ke lo, gak berubah sedikit pun."













Author mau up abis magrib tadinya, eh malah mati lampu jadinya lupa. Ini juga masih belum nyala sih :(

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang