Bab 2 Pekerja Malam

5.6K 95 1
                                    

6 Maret 2023

Jangan lupa vote dulu sebelum baca!! Hargai penulis teman-teman. Happy reading ❤️

.

.

.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Suasana komplek kontrakan sangat hening. Tidak ada orang yang keluar rumah meskipun hanya sekadar untuk bergurau dengan tetangga. Semua orang yang tinggal di sana berada di dalam rumah untuk beristirahat dan tidur untuk aktifitas esok hari.

Tetapi, itu tidak berarti untuk wanita yang berada di dalam kontrakan paling pojok. Kontrakan yang tidak memiliki ruang begitu luas dihuni oleh dua orang saja, ibu dan anak. Wanita itu sudah memakai sweater tebal dengan celana jeans-nya.

"Ibu, Rosie berangkat dulu, ya."

Rosie menghampiri ibunya yang sedang berada di depan tv dengan tangan penuh adonan kue.

Wanita setengah baya itu mendongak. Menatap putrinya yang sudah terlihat cantik. "Kamu tidak ingin makan dulu, Ros? Ibu sudah buatkan kamu makanan untuk makan malam," jawab ibu Rose menawari untuk makan terlebih dahulu.

Rosie menggeleng. Dia duduk di depan ibunya dengan senyum mengembang. "Tidak, Ibu. Rosie akan makan di sana saja." Rosie berkata demikian.

Irene, ibu Rosie. Irene menatap miris ke arah putrinya. Irene tidak pernah mengharap kalau dia akan hidup seperti ini bersama putrinya. Serba kekurangan dengan hutang di mana-mana sangat membuat dia sedih.

Irene seperti ibu yang tidak becus dalam menghidupi putrinya. Sejak lahir, Rosie sudah hidup serba kekurangan. Dan itu membuat Irene sangat sedih. Dengan serba kekurangan ini, putrinya harus bekerja juga untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.

"Ibu kenapa menangis?" tanya Rosie khawatir dengan ibunya yang mendadak mengeluarkan air matanya.

Cepat-cepat, Rosie mengelap air mata Irene dengan jarinya. Rosie begitu menyayangi ibunya hingga merespon dengan amat khawatir.

Irene menggeleng pelan. Dia mendengus sedih sebelum bicara. "Tidak apa-apa, sayang. Ibu hanya merasa miris dengan kehidupan kita ini. Mengapa Tuhan tidak baik pada kita? Mengapa Tuhan membuat kita serba kekurangan seperti ini? Ibu merasa amat sedih," ucap Irene dengan suara bergetar.

Irene menangis. Benar-benar menangis di depan putrinya. Irene tidak kuasa membendung air matanya yang menahan sesak di dalam dada. Selama ini, Irene selalu menahan rasa sedihnya dari putrinya. Dia tidak pernah menunjukkan rasa sedihnya di depan putrinya meskipun itu masalah berat. Namun, kali ini Irene benar-benar ingin mengadu pada putrinya.

Lain halnya dengan Irene yang merasa miris dengan hidupnya. Rosie justru sudah menikmati hidupnya yang serba kekurangan ini. Rosie sudah merasa bersyukur jika dirinya masih diberi nyawa untuk hidup dengan segala kebahagiaan.

Rosie pikir, dengan hidup bahagia dan cukup bersama ibunya itu sudah sangat disyukuri oleh Rosie. Inilah yang dicari Rosie, hidup tenang dan bahagia bersama dengan ibunya.

Kaya dan serba ada itu tidak diinginkan oleh Rosie. Dengan hidup mewah namun kurang perhatian dan kasih sayang itu justru terasa miris baginya.

"Rosie tidak merasa miris dengan hidup ini, Ibu. Rosie justru senang dengan hidup seperti ini. Rosie bahagia kok," jawab Rosie dengan nada senang.

Jawaban dari Rosie tentu saja membuat Irene heran. "Kamu tidak ingin serba ada seperti teman-teman kamu?" tanya Irene dengan tatapan tidak percaya.

Rosie menggeleng cepat. "Tidak, Ibu. Rosie tidak mau seperti teman-teman Rosie yang kaya tapi tidak punya attitude. Rosie justru senang dengan hidup seperti ini, tapi tahu cara menghargai orang lain. Rosie bersyukur banget dengan hidup ini," jawab Rosie memberikan alasan mengapa dia sama sekali tidak ingin menjadi orang kaya.

"Tapi, ibu merasa tidak becus menghidup kamu, Ros." Irene menunduk merasa bersalah karena membawa putrinya ke dalam hidup penuh kegelapan seperti ini.

"Kata siapa, ibu? Rosie tidak pernah menyalahkan ibu dalam hidup Rosie ini. Ibu adalah malaikat yang Rosie punya sekarang." Rosie mengelak pernyataan dari Irene.

Rosie memegang kedua sisi wajah Irene dengan lembut. Wajah yang sudah sedikit keriput membuat ibunya tampak tua.

"Ibu sedih kamu harus bekerja juga demi mencukupi kebutuhan kita. Seharusnya kamu itu belajar agar terus mendapatkan nilai A. Tetapi, kamu justru bekerja juga." Irene menatap dengan wajah sayu.

Irene menarik kedua tangan Rosie dan menggenggamnya erat. Inilah rasa sakit terbesar dari Irene, yaitu putrinya yang bekerja.

"Ibu, Rosie sudah bilang kalau ini memang kemauan Rosie. Rosie mau bekerja demi kehidupan ibu dan Rosie. Rosie sama sekali tidak merasa lelah karena ini. Jadi, ibu tidak perlu khawatir." Rosie menjelaskan pada ibunya untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.

Irene menatap sedih. Air matanya kembali jatuh. Dan Rosie segera memeluk ibunya. "Sudah, ibu. Jangan menangis."

"Sekarang, Rosie mau berangkat. Kalau ibu lelah, tidak usah diteruskan. Biar Rosie yang lanjutkan cetak adonan ini." Rosie menyuruh ibunya untuk tidak memaksakan diri jika lelah.

Irene mengangguk. "Iya, sayang. Pulang hati-hati. Di luar banyak preman dan perampokan," peringat Irene untuk berhati-hati jika pulang.

Rosie mengangguk. "Iya, Ibu. Rosie berangkat. Selamat malam," ujar Rosie keluar dari rumahnya.

Suasana malam semakin sunyi. Kontrakan kecil itu jarang sekali ada orang yang berkeliaran di malam hari. Hanya ada suara anjing yang menggonggong keras di pinggir-pinggir jalan.

Udara dingin mulai menyelimuti kota Jerman. Rosie mengeratkan mantelnya saat menyelusuri setapak jalan.

"Rosie," panggil seseorang dari belakang.

Sontak saja Rosie memutar kepalanya ke belakang. "Hei, Justin. Ada apa?" tanya Rosie pada temannya satu komplek dengan kontrakan.

"Tidak ada. Aku hanya ingin menyapamu saja. Kebetulan aku baru saja pulang," ujar Justin dengan menyunggingkan senyum manisnya.

Oh iya. Selain komplek kontrakan yang tidak begitu luas dan banyak penduduk. Ternyata, orang-orang yang mengontrak di sana cukup muda juga. Umurnya juga ada yang seperti Rosie, contoh saja Justin ini.

Justin ini masih muda dengan umur 24 tahun. Hanya terpaut 2 tahun saja dengan Rosie.

"Oh, begitu. Ya sudah aku pergi dulu, ya." Rosie berpamitan untuk melanjutkan langkahnya.

Belum menginjak, tangan Rosie sudah dicekal oleh Justin. "Ros," panggil Justin lagi.

"Hm?"

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Justin random.

Kedua alis Rosie mengerut tajam. "Hah? Kenapa tanya begitu?" tanya Rosie heran.

Justin menggeleng. "Tidak, aku hanya khawatir saja." Justin memberikan tatapan teduhnya.

Senyum Rosie mengembang di kedua sudut bibirnya. Rosie menjawab, "Aku tidak apa, Justin. Aku sudah biasa pulang sendiri. Kamu tidak perlu khawatir," jawab Rosie dengan tenang.

"Tapi-"

Rosie menangkup kedua dia pipi Justin. Tatapannya begitu dalam hingga membuat Justin hanyut ke dalam tatapan mempesona itu.

"Aku tidak apa. Kamu jangan khawatir denganku. Aku sudah terbiasa dengan hal ini." Rosie berkata demikian.

Cup

"Aku pergi dulu," teriak Rosie pergi setelah mencium pipi kiri milik Justin.

Reaksi Justin? Tentu saja senang bisa dikecup oleh pujaan hatinya.

Benar. Justin itu menyukai Rosie, tetangganya sendiri.

"Gadis itu benar-benar membuatku aku ingin mengurungnya di dalam kamar dan membuatnya tidak bisa berjalan." Justin menatap sensual ke arah Rosie yang sudah mulai menjauh dari pandangan matanya.

.

.

.

Halo guys!!! Aku balik lagi nih!! Semoga suka ya. Jangan lupa vote dan komen. Vote 40++ yuk. Hargai penulis!!!






Nafsu Sang Dosen (ROSIE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang