EN

14 3 0
                                    

Aku baru saja terbangun dari atas kasur berukuran kecil setelah tubuhku memberikan peringatan secara otomatis mengenai perubahan cuaca. Dan benar saja, badanku menggigil, meski sudah melapisi tubuh dengan selimut wol yang baru-baru ini aku keluarkan dari dalam lemari untuk menyambut datangnya musim dingin.

Di sisi lain, kenyataan bahwa saat ini sudah mendekati pukul 10 malam, membuatku bersemangat untuk melihat cuaca di luar. Tidak ada siapapun di rumah, jadi agak sedikit gelap, karena aku hanya menyalakan lampu pada ruangan tertentu. Nenek pergi ke rumah paman di desa sebrang (desa di pinggiran kota yang wilayahnya jauh lebih padat penduduk dibanding desa ini-yang secara geografis terletak di antara pegunungan dan danau). Konon katanya, ketika sudah memasuki musim dingin, temperaturnya bisa menyentuh angka 0°C yang mana itu bisa membuat danau di lereng gunung seketika membeku.

Usai memakai pakaian tebal, topi rajut, dan sarung tangan, aku bersiap untuk membuka pintu keluar. Namun suara deru kendaraan mesin di luar sana membuat seluruh syaraf di dalam otakku mati tak berdaya. Aku bertanya-tanya di dalam hati, kenapa bisa? Inikah yang disebut sebagai semacam firasat?

Dia mungkin tidak merasakannya, tetapi aku jelas merasakannya. Maka tanpa berpikir dua kali, aku langsung membuka pintu utama dan merasakan dinginnya angin yang begitu menusuk hingga ke dalam inti sel. Ah, aku sudah tidak peduli lagi dengan cuaca ekstrim. Rasa yang membuncah di dalam hatiku ini jauh lebih penting dari apapun.

"ELONAAA!!!"

Aku berlari meski salju setebal mata kaki ini menghalangiku untuk berlari dengan kencang. Aku tidak peduli lagi tentang rencana bermain-main dengan salju atau bahkan membuat boneka salju. Karena bertemu dengannya setelah sekian lama jauh lebih menyenangkan daripada keluar rumah untuk berkencan dengan musim dingin.

Ia telah turun dari mobil (tentu saja ia tidak bisa memarkirnya di halaman rumah) melainkan di pinggir jalan beraspal yang tidak tertutup salju. Ia menutup pagar rumahnya yang pendek, sama sekali tidak menghiraukan sapaanku.

Sebelum ia berjalan melewati halaman rumahnya yang luas aku mencoba peruntunganku untuk yang kesekian kali, "Elona, ​​you've been gone too long!"

Gadis itu berhenti berjalan. Ia menoleh ke samping kanan, tepatnya ke arah kediamanku. Namun dia sama sekali tidak menatapku, malah memperhatikan rumah reot milikku yang seperti sudah tidak dihuni selama belasan tahun. Ia tersenyum simpul, ada sedikit kesedihan di matanya tetapi aku tidak dapat memahaminya.

"Nolan, I have to get in the house to light the fireplace!" katanya dengan suara parau.

Aku masih terdiam di tempat, sampai kapan dia tidak mau berbicara denganku?

"Elona, all this time it's only you who's grown up. Don't you know how desperate I was when-"

"I know! How many times have I told you? I miss you, always. But this time I beg you to let me forget you!"

"Elona, hurry up!"

Nona Iansa-ibu Elona memanggilnya dari balik pintu setelah ia menyadari keberadaanku.

"YES, MOM! I'M GOING THERE!"

End.

.
.
.






Addition:

Winter brings bad memories, Nolan, my love, will forever be my life. But you died that time, that night when I asked you to go out together even though there was a storm. Mom was right, it's better to be at home lighting the fire, it's much more fun, and certainly won't cost you your life.



525 kata.

PROMPT:

PROMPT:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AFFECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang