Krisan

12 2 0
                                    

May 1881

Saya duduk di pelataran dengan kaki bersimpuh, membiarkan tamu-tamu berpakaian serba hitam itu memberi salam serta meletakkan sebuah rangkaian bunga krisan di atas meja di mana di sana juga terdapat sebuah lukisan tunangan saya-Horata.

Horata tampak cantik dengan balutan gaun bewarna maron, di belakangnya terdapat sebuah pemukiman perkotaan-terlihat dipadati oleh orang, kuda, dan juga hewan ternak yang hendak digiring ke sebuah padang rumput. Saat saya melirik lukisan tersebut, hati saya terasa sangat sakit, melihat ia tersenyum lebar dilukisan, membuat saya semakin bersalah padanya. Bagaimana saya begitu egois padanya selama ini? Saya bahkan tidak pernah membuatnya tersenyum lepas seperti itu. Selama bersama saya, Horata selalu terlihat murung.

Dia seumuran dengan saya, tetapi ia tidak pernah mencintai saya. Saya tahu itu karena saya lah yang memaksanya untuk menyetujui pertunangan. Dulu, saya berpikir bahwa dia akan menerima cinta saya cepat atau lambat jika saya bersikap luhur. Tetapi, usaha saya tidak pernah berhasil.

Karena putus asa, saya memilih untuk mengekangnya, melarangnya bertemu dengan Count Hayes-pria tua bangka itu ... adalah cinta sejatinya. Hayes adalah putra dari pewaris tanah di Selatan, meskipun usianya terpaut 10 tahun jauh lebih tua, entah bagaimana orang itu bisa membuat Horata saya jatuh cinta.

Tetapi meskipun saya tahu Horata mencintai Hayes, saya tidak pernah mengetahui perasaan Hayes yang sebenarnya. Hatinya sulit untuk ditebak. Beberapa kali saya memergoki tunangan saya berusaha mengirim surat pada Hayes yang tengah berjuang di medan perang, diam-diam saya membakar surat tersebut sebelum tiba pada sang pemilik, sehingga surat-surat itu tidak pernah diterima oleh Hayes dan Horata juga tidak pernah mendapatkan surat balasan. Horata mengira bahwa Hayes tidak pernah membalas suratnya karena pria itu tidak memiliki perasaan yang sama. Dia secara menyedihkan tidak tahu apa-apa mengenai kebenaran dan diam-diam menangis di kamar karena merindukan pria itu.

Horata sudah sangat lama mencintai Hayes. Kehadiran saya di hidupnya membuat dia membenci saya. Dia sudah sering memberontak dan bernegosiasi dengan saya agar membatalkan pertunangan tetapi saya kemudian dengan lantang mengancam akan membahayakan nyawa Hayes jika itu terjadi. Gadis itu bungkam, dan semakin membenci saya. Dia memilih untuk mogok makan dan itu bertahan sampai berbulan-bulan, hingga membuat kesehatannya menurun sampai membuatnya meregang nyawa.

Saya duduk di depan abunya yang sudah dikremasi dengan perasaan yang sangat kacau. Horata tidak pernah bahagia di dunia ini dan saya dengan kejam telah memisahkannya dengan Hayes.

"Salam, Putra Mahkota. Saya di sini untuk menyampaikan bela sungkawa!"

Saya mendongak, melihat Hayes menyilangkan pergelangan tangannya di depan dada seraya membungkuk, dia baru saja tiba dan hanya berdiri di depan pintu, sepertinya tidak memiliki niatan untuk masuk lebih jauh. Dan benar saja, dengan wajah tertekuk, dia hampir membalikkan badan.

"Apa Anda tidak punya hati? Cepat masuklah dan beri salam terakhir pada Horata!" ucap saya dengan lantang, tetapi saya mendapati suara saya sedikit bergetar, "bukankah dia adalah orang yang penting bagi Anda?" lanjut saya lirih.

Setelah mempertimbangkan ucaoan saya, akhirnya dia masuk ke dalam dengan tenang, dia bersimpuh di sebelah saya, meletakkan pedangnya di atas tanah, tidak berani untuk melihat abu kremasi yang diletakkan dalam sebuah wadah berbahan marmer kemudian menyatukan kedua tangannya untuk berdoa. Kedua bahunya bergetar, saya mendengar suara tangisan tanpa suara yang begitu menyakitkan. Tanpa sadar, saya juga ikut merasakan apa yang dia rasakan.

Hayes jelas mencintai Horata! Itu terlihat jelas dikedua matanya. Saya tahu bagaimana kesatria itu dulunya menatap Horata dengan tatapan yang tidak biasa. Tetapi saya menyangkalnya, dan membuat pria itu menyerah karena Horata telah lebih dulu bertunangan dengan saya.

"Selama masa hidupnya, Horata hanya mencintai Anda!" Setelah mengatakannya dengan putus asa, saya dapat melihat perubahan raut wajah Hayes yang terkejut, dia menatap saya dengan tatapan tajam, matanya yang bewarna hitam legam menjadi lebih pekat, "tolong maafkan saya karena tidak bisa membuatnya bahagia." Saya menunduk, membuang seluruh harga diri saya yang tersisa. Pada akhirnya, saya tidak bisa mengendalikan tangisan saya sendiri, tetapi rasa sedih ini tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah mereka alami.

Prompt: cerpen berlatar di tahun 1800-an.

Jumlah kata: 653 kata

AFFECTIONWhere stories live. Discover now