● AnnaraSumannara! ●

70 30 46
                                    

.

Untunglah ketampananku tidak berkurang.

Sedikit lebam di pelipis dan bekas luka di bibir yang tergigit sendiri tadi tidak terlalu berdampak banyak. Hanya saja rasanya sedikit malu dibuat ambruk oleh seorang gadis.

Setelah kejadian itu, beberapa orang sekitar berdatangan dan membantu membereskan termasuk bapak tua dengan anak kecil itu, tapi anehnya, tidak ada satupun dari mereka yang melihat gadis itu berlari ke arah mana.

Suara ketukan berirama terdengar. Disusul suara Lucio "Raonno, boleh aku masuk?"

"Masuk saja, Lucio."

Lucio hanya berdiri memandangku yang sedang bercermin. "Bagaimana dengan lukamu?"

Aku mengedikan bahu. Entahlah dibilang tidak, bibirku yang pecah dan pelipis lebam ini cukup menyakitkan. Tapi lebam dan nyeri karena seorang gadis rasanya terlalu memalukan untuk diakui.

"Aku sudah memeriksa alarm. Tidak ada komponen yang rusak. Mungkin memang sedang eror saja," jelas Lucio sebelum aku meminta laporan tentang alarm yang tidak berfungsi tadi.

"Bagaimana dengan ponsel yang dicuri?" Dia bertanya lagi. Wajahnya masih khawatir.

Kukibaskan tangan. "Biar aku saja yang mengurusnya." Itu bukan hal yang mesti dipusingkan.

"Baiklah. Kotak ini kusimpan di sini, ya. Aku pergi dulu."

Aku berpaling dari wajah tampanku di cermin. Melihat kotak beludru di depan meja televisi. Apa sebenarnya isi kotak itu?

Tak ada lubang kunci atau gembok. Mungkin itu bukan barang berharga, makanya tidak ada pengamanan.

Aku mengurungkan niat membuka kotak itu. Kembali pada cermin, mengurus rambut ikalku yang tadi sempat penuh dengan pecahan kaca. Untung saja tidak ada yang menancap di kulit kepala. Hanya tersangkut di rambut kusutku.

Terdengar lagi suara ketukan.

"Lucio? Kau kah itu?"

Tidak ada jawaban.

Kutajamkan lagi telinga mencari sumber suara. Bukan dari pintu. Kelotak itu terdengar dari dalam lemari di sudut kamar semakin lama, semakin terdengar keras. Seperti derap langkah kaki kuda di lantai kayu.

Kuda? Di lemariku? Tidak mungkin.

Lemariku tidak terlalu besar. Lagi pula aku hanya menyimpan beberapa potong baju juga celana jeans di sana. Satu-satunya jaket yang kupunya tergantung pada hanger di belakang pintu. Brankas kecil tempat menyimpan uang dan peti kayu rahasiaku. Peti itu hanya berisi beberapa barang tidak berharga yang kuambil tanpa izin— Aku menolak menyebut itu dengan kata mencuri— dari beberapa kenalan di Palma dulu.

Kelotak itu terdengar semakin keras, seperti hendak mendobrak lemari.

Dengan perasaan takut, kupegang handle lemari. Mencoba menekan tombolnya agar terbuka.

Namun pada saat yang bersamaan, kotak beludru di depan televisi mengeluarkan suara yang sama. Aku menatap bolak balik kotak beludru dan lemari. Akhirnya kuputuskan untuk membuka lemari terlebih dahulu.

Aku terjengkang ketika sebuah cahaya memelesat keluar dari peti di dalam lemari. Memantul acak dari satu tembok ke tembok yang lain menuju pintu. Meninggalkan warna gosong bekas terbakar. ¿Oh, Dios mìo! Jaketku!

Belum reda rasa kagetku, kotak beludru di depan televisi ikut terbuka dan memuntahkan cahaya yang sama.

Dua cahaya itu berkejaran. Berputar-putar membentuk lingkaran, segitiga, persegi, aku tidak mengerti. Cahaya dengan ekor seperti kembang api itu benar-benar bergerak acak.

Dalam keadaan panik, aku hanya bisa melongo, seperti orang bodoh yang tidak tahu arti kata menyelamatkan diri.

Akhirnya aku merayap menuju kolong tempat tidur. Satu-satunya perlindungan diri yang kubisa adalah menutupi wajah dengan tangan agar jika sesuatu yang buruk terjadi padaku, setidaknya orang-orang bisa mengenali wajah tampanku.

Entah sudah berapa waktu berlalu, suara-suara itu sudah tidak terdengar. Menyisakan bau sangit yang memenuhi seisi kamar.

Dengan tingkat kewaspadaan tinggi, akhirnya aku memberanikan diri mengecek keadaan. Merayap kembali dari kolong tempat tidur. Syukurlah. Keadaan sudah aman, cahaya-cahaya itu menghilang, menyisakan asap pekat dengan aroma menyengat dan gosong di sebagian besar tembok kamar.

Aku bangkit dan membuka jendela. Meraup udara segar sebanyak-banyaknya dari luar. Sialan. Kotak beludru milik perempuan tadi benar-benar membawa masalah. Dan peti kenangan itu kenapa bisa terbuka? Padahal kuncinya sudah ku lempar ke danau.

Peti berukuran sedang itu berisi beberapa barang yang kuambil tanpa izin dari orang-orang disekitarku. Anting mutiara Maria, gigi emas nenek, kerikil semir rumah, bando kristal entah milik siapa, pajangan kaca warna warni, tongkat su— mana tongkat sulapku?

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Dua tongkat tergeletak mengenaskan di bawah meja televisi. Sepertinya mereka yang telah berbuat onar, tapi bukankah tongkat sulapku—tongkat sulap orang lain yang ku ambil tanpa izin itu hanya tongkat mainan? Tongkat sulap biasa dengan baterai di dalamnya?

Tongkat sulapku—anggap saja begitu dan tongkat aneh milik gadis itu kini ujungnya saling menjalin menjadi satu. Sudah kucoba pisahkan, tapi sulit. Dua tongkat itu seperti kayu hutan yang akar-akarnya terjalin kokoh dan alamiah.

Kumasukan keduanya ke dalam kotak beludru hijau itu. lalu membebatnya dengan lakban, jaga-jaga nanti mereka berulah lagi.

Sebelum kumasukkan ke dalam lemari, kutatap sekali lagi kotak beludru itu.
Aku tidak bisa mencerna segala keanehan ini. Demi apapun aku bersumpah akan mencari gadis pencuri itu sampai dapat.

—–—————–

continuarà...

———————

Tiga isi Mistery Box sudah masuk ke dalam cerita. Inginnya sih sampai di sini, tapi ceritanya harus diselesaikan.
🥲
Semangat masih ada sisa hari untuk berjuang ☄️☄️☄️

Jika banyak kesalahan, mohon dimaafkan.. dan mohon beri tahu  🥲

Something Magical About YouWhere stories live. Discover now