● ZimZalaBim ●

63 27 58
                                    

.

Benar kata Mama Milla, yang ditakdirkan untuk kita akan menemukan jalannya sendiri untuk pulang. Begitu juga sebaliknya, semua yang tidak ditakdirkan untuk kita akan lolos begitu saja dari tangan, seerat apapun kita menggenggamnya.

Sebenarnya ini bukan pilihan, tapi ini sebuah keharusan. Mengembalikan benda-benda yang pernah kuambil tanpa izin (aku masih menolak memakai istilah mencuri) ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Kata-kata penolakan juga hinaan banyak terlontar dari orang-orang yang akhirnya mengetahui kondisi gangguan impulsifku. Bahkan banyak yang tidak mengeluarkan satu kata pun padaku setelah itu.

Tidak sedikit juga yang menatap iba dan merelakan benda-benda itu di tanganku. Toh, beberapa memang tidak berharga jika dihitung dengan uang, tapi banyak dari benda-benda itu memiliki harga 'sebuah kenangan' yang tidak bisa terbayarkan dengan nominal terbesar sekalipun.

Aku juga setuju dengan keinginan papa agar aku mulai menjalani terapi lagi. Selain untuk papa, aku juga harus menjalaninya demi diriku sendiri. Aku tidak ingin suatu hari nanti namaku terpampang di halaman depan surat kabar dengan headline 'Raonno, Seorang Anak Pemilik Perusahaan Ponsel Ternama Mencuri Sebatang Jarum dari Toko Peralatan Menjahit di Spanyol'. Oh, dios mío!! Aku tidak ingin dipenjara karena sebatang jarum atau apapun.

Aku akan kembali ke Palma untuk menjalani serangkaian terapi. Gerai kuserahkan sepenuhnya pada Lucio. Kuharap dia tidak terlalu banyak membuat jejak minyak di ponsel dan barang-barang lain di gerai karena kebiasaan ngemilnya itu.

Siang ini, aku dan Mireya berjanji untuk bertemu di bukit Rayo. Sebelum dia menjalani hukuman dan aku menjalani serangkaian terapi yang belum pasti menyembuhkan, tapi aku yakin, kali ini akan ada hasil yang baik.

Sengaja aku datang lebih awal untuk memberinya kejutan, tapi aku lebih dulu dikejutkan dengan sesorang yang sedang memaki angin karena terus menerus menerbangkan kain kotak-kotak yang sedang dia gelar di atas rumput.

Tidak salah, itu Mireya. Rambut sewarna jeruk yang menari-nari diterpa angin, membuatnya kesal, tapi itu lucu buatku.

"Perlu bantuan, Nona?" Usilku.

"Kalau kau laki-laki tidak perlu bertanya dulu sebelum membantu," ucapnya judes.

"Kalau kau perempuan, kau tidak akan kesusahan menata buah dan kotak-kotak makanan itu," godaku.

Aku mulai terbiasa dengan cara bicara Mireya yang seperti cabai. Terkadang membuat hangat meski lebih sering pedas menggigit dan membuat perut mulas, tapi aku yakin hatinya lembut dan yang terpenting aku suka.

Rasanya baru kemarin dia membuat ujung mataku lebam, tiba-tiba saja sekarang kami menjadi dekat. Setelah tahu aku seorang kleptomania, tidak selangkahpun dia menjauh. Dia menjelma menjadi teman yang baik.

Setiap hasrat ingin mengambil itu datang, Mireya bersedia menggenggam tanganku dan memalingkan perhatian. Cukup berhasil, tapi aku sadar tidak setiap waktu aku akan bersama Mireya. Maka aku harus bisa menahan sendiri keinginan memiliki barang orang lain itu.

Mireya memberengut, lalu berbaring di atas kain yang baru saja selesai kuberi batu sebagai pemberat di setiap sisinya.

"Begini lebih baik,"

Sembari menyantap sandwich yangbaku yakini buatan Mama Milla, tapi diakui sebagai buatannya, Mireya bercerita bahwa sidang keluarga memutuskan masa hukumnya adalah tiga tahun, tapi untuk bisa bebas keluar masuk desa Alazne dan berbaur dengan manusia biasa, dia harus melewati usia dua puluh terlebih dahulu. Itupun dengan syarat tidak boleh pergi terlalu jauh, karena kekuatan mereka belum cukup untuk itu.

Aku menekuk jari, berhitung "Lima tahun lagi. Aku bersedia menunggu."

Mata kucing Mireya menatapku bingung. Lonceng kecil di ujung telinganya bergoyang tanpa bunyi ketika Mireya menggeleng, memahami perkataanku.

"Jangan menutup kesempatan untuk menjadi lebih baik dan menemukan yang lebih baik lagi dengan menunggu," ujarnya hati-hati.

Aku membenahi diri. Duduk memangku kotak sandwich yang isinya sudah berpindah ke perut. Membiarkan remahannya mengotori celana panjangku.

"Bagaimana kalau yang terbaik itu adalah kamu?"

Mireya beranjak dari posisi rebahnya. Wajahnya seperti buah delima.

"Kamu pikir lima tahun itu selangkahan kakimu?" ujarnya sewot.

"Kamu pikir aku tidak akan kuat?" tanyaku ngotot.

"Kamu pikir lima tahun tidak akan bertemu dengan orang lain?"

"Kamu pikir laki-laki semudah itu berpaling?"

"Kamu pikir aku tidak akan menemukan yang lebih baik darimu?"

"Kamu pikir—" Aku berdeham, mencoba membasahi tenggorokanku yang kering. "Kamu pikir-pikir saja dulu, Mireya," cicitku. Percuma. sekecil apapun suaraku, telinga kucing Mireya dapat menangkapnya dengan jernih.

Mireya terdiam. Suasana tiba-tiba hening. Hanya deru angin dan cicit burung yang sesekali menimpali suara napas.

"Akan kupikirkan," ucapnya tiba-tiba.

"Apa?"

"Apapun." Mireya mengedikkan bahu, mengganti arah pandang.

Baru saja aku hendak membuka mulut, Mireya sudah menghadangkan telapak tangannya di depan mulutku.

"Kau tahu kan aku suka berpikir?" Tangannya yang lain memainkan ujung rambut dengan salah tingkah.

Aku mengulum senyum, menutup percakapan. Tak ingin membuat pipinya lebih merah lagi dari sekarang.

Te echare de menos, Mireya.

————————————
End



Semacam 'enggak uwwu, enggak aku' 😅

Jauh dari dugaan. Cerita ini sama sekali tidak fantasi seperti yang diinginkan, tapi terima kasih banyak RAWSCommunity untuk tantangan yang seru ini.

Karya sederhana ini kuharap bisa menjadi awal aku menulis lagi dan memberi kesan yang baik untuk semua yang membaca.

Muchas Gracias 🍀

Something Magical About YouKde žijí příběhy. Začni objevovat