DIS-6

12K 1.4K 248
                                    

Adelia's.



"Lah, berarti tadi siang langsung ke Singapore?"

Aku melambaikan tangan sesekali ketika berpapasan dengan beberapa peserta konferensi yang aku kenal di sepanjang lobby utama.

"Iya. Tadi abis ngajar kelas Speaking, langsung berangkat." Suara helaan napas Gilang terdengar keras melalui airpod yang aku pasang di kedua telingaku. "Malam ini, gue langsung balik ke Surabaya, kok. Bilang apa adanya aja ke Ayah."

Jawabanku barusan menghasilkan decakan kesal dari Gilang, sempat kudengar makian pelan pria itu yang entah diarahkan untuk siapa. "Berarti ini lo udah di Changi?" tanyanya terdengar terburu-buru.

Pandanganku menyisir ke arah lobby yang masih sama ramainya seperti ketika aku datang siang tadi. "Belum, lah. Ini masih ada di Suntec. Baru aja konferensinya selesai."

"Acara apa, sih? Kenapa lo nggak ada bilang apa-apa ke gue kemarin?" Nada bicara Gilang terdengar keras menyuarakan protesnya.

Sebelum ini-mau pergi kemanapun-tidak ada yang melempar protes semacam ini hanya karena aku tidak memberitahu mengenai jadwalku. Makanya, rasanya sedikit aneh saat melihat Gilang berkali-kali menghubungiku dan mengirimkan pesan yang menanyakan keberadaanku.

"ICERI. Gue kasih tahu, lo juga nggak bakal paham. Lagian, tumben banget gue perlu ngabarin. Biasanya juga nggak ada yang peduli."

Gilang lagi-lagi terdengar bercedak, kemungkinan dia tidak suka mendengar bagaimana aku merendahkan diriku sendiri. "Kebiasaan, deh! Ini Bokap lo juga kenapa tiba-tiba banget punya pikiran mau nyamperin lo di Surabaya, sih?" ujarnya kesal, mengungkap alasan dari banyaknya panggilan dan pesan yang tertinggal di iPhoneku.

"Ya, udah. Tinggal jawab aja, gue lagi di Singapore. Kalau ditanya ngapain, bilang kalau gue ikut International Conference of Educational Research and Innovation. Misal Ayah tanya kapan gue balik, jawab kalau nanti malam gue udah sampai di Surabaya. Selesai, kan?"

Aku tahu, sebenarnya berhadapan dengan Ayah bagi Gilang-atau siapapun itu-tidak akan mudah. Tapi, itu, 'kan, pekerjaannya?

"Kalau bukan Dira yang ngasih tau, nggak tahu, deh, ke mana lagi gue bisa cari lo, Del." Kini suara Gilang sudah terdengar sedikit tenang.

Untuk beberapa saat, aku sempat mengerutkan kening. Dira? Kenapa Gilang bisa tahu-astaga!

Gilang sama sekali tidak memberikan waktu bagiku untuk menjelaskan, karena sahutannya yang terdengar sarkas terdengar jelas dari airpod yang aku pasang. "Giliran gue yang masih keluarga tanya, pura-pura bingung. Tapi, lucunya buat orang lain, lo nggak perlu nunggu buat ditanya, udah rela ngasih tau duluan."

Bukan begitu! What can I say? It simply happened. Setelah aku mengenal Dira, Firman, dan beberapa ajudan Narendra setelah pembicaraan 'perjodohan' di antara kami ramai diperbincangkan di kalangan keluarga politisi lain, bisa dibilang hubunganku dengan kedua asisten Narendra lebih baik daripada Narendra sendiri.

Sesampainya di Surabaya tadi pagi, aku sempat bertukar pesan singkat dengan Dira dan mengobrol sebentar bersama Firman lewat sambungan telepon, sebelum aku berangkat ke Juanda tadi siang. Tanpa aku sadari, aku memberitahu jadwal keberangkatanku ke Singapore ke mereka. Jadi, begitulah ceritanya...

"Tadi, Ibu Kanaya udah hampir nyuruh gue buat nyusulin lo tau, nggak?" Keningku mengernyit dalam. "Untungnya, gue koordinasi dulu sama Dira. Dia bilang orangnya Narendra udah ada di sana," lanjutnya yang makin membuatku heran.

Apa barusan aku salah dengar? "Apa? Siapa lo bilang?" tanyaku, mencoba menajamkan pendengaran dengan menekan salah satu airpods.

"Wah, kalau orang yang nyusulin lo ke sana gue nggak tahu. Coba tanya ke Dira, deh," jawab Gilang, gagal menangkap maksud pertanyaanku barusan.

DISCONNECTED (COMPLETED)Where stories live. Discover now