DIS-23-Biting My Tongue

11K 1.4K 291
                                    

Narendra's.

"Terserah kamu aja, Bu..."

Untungnya, tanpa perlu tarik urat Adelia mengangguk. "Ya, sudah. Kalau gitu nggak usah sekalian." Gue buru-buru melepas tatapan dari layar iPad. "Bisa dibatalkan nggak, Mbak?"

"Ngawur!" Gue memotong ucapan Adelia dengan cepat, sambil melayangkan tatapan heran ke wanita yang kini duduk sembari bersedekap di sebelahku. "Gimana tadi konsepnya?" tanya gue, dengan berat hati meletakkan iPad di atas meja meski harusnya gue membaca laporan bulanan yang dikirimkan rutin oleh Jeremy.

Wina—staf wedding organization yang khusus mengurus souvenir pernikahan gue dan Adelia—menyerahkan iPadnya dengan detail power point yang ia dan timnya sudah buat.

"3 hari lalu kami sudah diskusikan detailnya dengan Ibu Adelia. Hari ini tinggal finalisasi saja, Pak."

Perasaan gue mendadak berubah nggak enak waktu menemukan Adelia hanya diam—berbeda dengan sebelumnya di mana dia lebih banyak mengobrol dengan Wina.

Ya, kalau yang gue denger nggak sengaja dari Dira—gue memang kesurupan karena punya niatan baik buat nemenin Adelia bertemu dengan WO untuk membahas souvenir pernikahan kami.

Mungkin karena obrolan kami 2 hari lalu berjalan lancar, Adelia jadi nggak terlalu kaget waktu tau gue jemput dia siang tadi.

Gue rada gengsi—dikit—ngeliat Wina mencoba menahan senyumnya ketika bertatapan dengan gue. "Ibu Adelia tadi tanya, apa Bapak sudah setuju dengan konsep yang ini, Pak?" ujarnya mengulang pertanyaan Adelia beberapa saat lalu yang nggak gue dengar karena fokus membaca laporan.

Untuk beberapa saat, gue cuma diam—membaca dan mencoba membayangkan konsep yang langsung disetujui Adelia dengan mudah.

"Jadi, nanti para tamu dikasih wedding card gitu, ya?"

Adelia dan Wina sama-sama menganggukan kepala. "Wedding cardnya bisa diakses kapan saja, Ibu Adelia nggak menentukan tenggat tanggalnya, Pak. Para tamu cuma perlu scan QR yang ada di wedding card, dan mereka bisa pilih souvenir yang mereka mau dan akan dikirimkan di hari yang sama, Pak."

Mendengarkan penjelasan Wina, gue cuma mengangguk beberapa kali. To be honest, I have no desire to deal with this type of thing, even if it is for my wedding. Tapi, gue juga nggak bisa mengeluh karena dengan kesadaran dan keinginan gue sendiri—gue ada di sini nemenin Adelia.

Mata gue melirik Adelia yang masih diam aja di sebelah gue, memperhatikan obrolan gue dan Wina. "Terus, jenis souvenir yang bisa dipilih nanti apa aja, Bu?" tanya gue, berbisik pelan di telinga Adelia.

Telunjuk Adelia menunjuk ke arah layar iPad, "Dibaca, Ndra. Jenis souvenirnya banyak, dan semua ada di sana,"

Masalahnya, gue malas baca, Lia...

Terus, kenapa dia jadi senewen begini, sih?

Peduli apa soal reaksi Wina waktu dia liat gue menatap malas-malasan layar iPad, menelusuri urutan jenis souvenir yang gue tanyakan tadi.

Mulai dari kue, barang pecah belah, make up, coklat, tas, dan masih banyak lagi jenis souvenir yang dipilih Adelia untuk menjadi souvenir pernikahan kami.

Gue mengembalikan iPad ke Wina sambil mengacungkan ibu jariku, "Oke, sih." Lagi-lagi Adelia nggak memberikan tanggapan sementara Wina memasang raut bersemangatnya. "Itu, 'kan, pilihan souvenirnya banyak—di tiap wedding card nanti bisa pilih berapa banyak?"

"Nah, itu yang tadi masih jadi bahan diskusi saya sama Ibu Adelia, Pak." Wina menjawab, masih dengan senyum lebarnya.

Sengaja, gue menggeser kursi yang gue duduki supaya bisa dekat dengan kursi Adelia. "Kamu maunya berapa, Bu?" tanya gue, mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya mengobrol.

DISCONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang