10

39 9 21
                                    

Nandini baru saja memarkirkan motornya di kos ketika ponselnya berdering. Gadis itu menghela napas dan mengangkat telepon.

"Nak, apa kabar?" Itu ibu Nandini. Kenapa pula ibunya dua hari ini berturut-turut menelepon, padahal biasanya bertanya kabar di pesan pun tidak?

"Baik, Bu." Gadis itu mencabut kunci motornya, berusaha menerka apa maksud ibunya menelepon kali ini. "Ibu sendiri bagaimana?"

Ada jeda beberapa detik sebelum ibu Nandini menjawab. "Baik juga, Nak. Tugas akhirmu bagaimana, Nak?"

"Aman, Bu," Nandini menjawab dengan enggan. Sudah cukup keberadaannya tidak berguna untuk mempertahankan keluarga, jangan sampai ia juga turut jadi penyebab patah hati ibunya. "Ibu sendiri, bagaimana pekerjaannya?"

"Yah, begitulah," ibu Nandini tertawa kecil. "Ibu kangen, Nak. Apa kamu tidak mau pulang sebentar?"

Gadis itu menatap pergelangan tangannya. Tidak mungkin ia menunjukkan luka-luka ini pada ibunya, dan rasanya hampir tidak mungkin juga ia memakai wristband nyaris setiap waktu. Dengan terpaksa, Nandini berdusta. "Lagi sibuk, nih, Bu. Maaf, ya."

"Terakhir Ibu ketemu kamu itu saat Lebaran, lho." Ibu Nandini mendesah. "Bahkan libur semester kemarin kamu tidak pulang. Kamu bukan sedang berada di rumah ayahmu, kan?"

Kenapa pula ibunya selalu berprasangka begitu? Nandini paham, bisa jadi ibunya setakut itu karena ayahnya memutuskan untuk tinggal di Surabaya juga setelah bercerai. Meskipun begitu, tak pernah sekalipun Nandini bertemu dengannya, tak peduli seberapa rindunya ia sebenarnya. Selain karena Nandini takut menoreh luka baru saat melihat ayahnya bersama dengan si pelakor, Nandini juga tak ingin menyakiti hati ibunya. "Nandini di kos terus, Bu. Ibu tenang saja."

Ibu bicara dengan nada mengancam. "Awas, ya, kalau sampai ketahuan ketemu lelaki bajingan itu!"

Sudah hampir setahun, tapi Nandini tahu luka di jiwa ibunya masih basah dan berdarah-darah. "Iya, Bu."

"Ibu tidak habis pikir kenapa dulu Ibu mau menikah dengan lelaki macam itu!" Suara ibunya terdengar begitu menggebu-gebu. "Kenapa juga wajahmu lebih mirip bajingan itu? Ibu rindu padamu, tetapi rasanya mau marah setiap kali melihat kedua matamu. Menyebalkan!"

Nandini anak tunggal, dan satu-satunya fitur fisik yang diturunkan dari ibunya hanyalah kulit putih pucat. Gadis itu menghela napas mendengar sumpah serapah Ibu yang ditujukan untuk ayahnya.

"Ya sudah, Ibu tutup dulu teleponnya. Kamu yang benar, ya, belajarnya!" Tanpa menunggu Nandini mengiyakan, wanita paruh baya itu langsung menutup telepon.

Rasanya lelah mendengar rentetan makian. Nandini memandangi langit-langit parkiran kosnya. Terakhir kali ia berjumpa dengan ibunya saat lebaran, dirinya nyaris jadi sasaran amukan ibunya hanya karena ekspresinya dinilai mirip dengan sang ayah. Itu juga yang membuatnya enggan pulang, sebenarnya.

Tapi memang itu salahmu, Nandini. Suara sumbang muncul dalam benaknya. Kenapa pula kamu bisanya hanya bikin kecewa semua orang yang ada di sekitarmu?

Begitu cepat hati manusia berubah. Padahal, beberapa menit lalu, Nandini baru saja merasa sedikit lebih bahagia. Dengan langkah gontai, gadis itu berjalan menuju kamar di ujung lorong.

Kata Adib, Nandini harus belajar menghadapi semuanya. Bagaimana caranya? Mendengar keluh kesah ibunya saja ia langsung merasa jadi manusia yang paling pantas untuk mati di dunia ini. Mempertahankan keinginan hidup saja sulit baginya, lantas bagaimana cara ia menghadapi masalah yang memberatkan hidupnya?

Lego bunga sakura yang dikerjakan Nandini di kafe tadi kini sudah terpajang di meja belajar gadis itu. Di sebelahnya, teronggok laptop yang nyaris setiap hari ia buka hanya untuk dipandangi hingga baterainya habis. Nandini duduk di kursi belajarnya, menyentuh laptopnya dengan penuh keraguan.

ApologiesWhere stories live. Discover now