15

24 4 3
                                    

"Din, AYCE—all you can eat—yuk buat lunch nanti!"

Ajakan dari Elisa pagi itu membuat Nandini mengerutkan dahi. Pasalnya, dua minggu dari sekarang adalah tenggat pengumpulan tugas akhir dan persiapan pameran. Selain itu, hari ini adalah jadwal konsultasi kedua—ketiga, kalau kunjungan dadakannya beberapa hari lalu turut dihitung—Nandini ke psikiater.

Dua minggu terakhir Nandini lalui dengan baik, omong-omong. Setiap pagi ia dan Adib sarapan bersama, sampai Elisa hafal. Pagi ini Elisa memaksa untuk ikut karena hari libur.

"Aku juga mau sarapan sama Dini, nggak cuma kamu!" Begitu alasan Elisa ketika Adib protes dengan kehadirannya. "Memangnya kalian pacaran?"

"Nggak juga, sih." Adib mengedikkan bahu. "Nandini nggak apa-apa kalau Elisa ikut?"

"Tidak ada alasan untuk menolak juga, sih." Begitu ucap Nandini, sama sekali tak terpikirkan ada rahasia yang berisiko terbongkar. Jadilah mereka bertiga terdampar di warung penyetan yang ajaibnya buka di pagi hari.

Elisa, gadis yang hari ini mengenakan kerudung langsungan berwarna krem itu, melahap penyetan lelenya dengan lahap. "How? Bisa, nggak?"

Tatapan mata Nandini dan Adib bertemu. Seakan bisa berkomunikasi lewat telepati, gadis itu mengirimkan sinyal permintaan tolong. Bagaimana cara menolak Elisa tanpa perlu bilang kalau mereka mau pergi ke psikiater setelah ini?

"Eh, ini obat apa?" Tahu-tahu saja Elisa menunjuk plastik obat milik Nandini yang tergeletak di meja. Tangan anak itu langsung mengambilnya sebelum Nandini sempat merebut. Alisnya bertaut. "RSJ? Dini, kamu ke RSJ?"

Wah, sebuah kecerobohan. Nandini lupa kalau ada Elisa di sana. Gadis itu menatap Adib dan dibalas oleh sorot mata yang sama bingungnya. Bagaimana cara menjelaskannya?

Mata bulat Elisa menyipit. "Din, Dib, you two owe an explanation to me."

Nandini bukan orang yang pintar berkelit. Sebenarnya Adib bisa saja, tapi bukti berupa obat sudah tertangkap basah, dan jelas-jelas di bungkusan obat itu ada nama Nandini. Adib menatap Nandini. "Aku atau kamu yang jelasin?"

Benak Nandini berkecamuk. Bukannya ia tidak mempertimbangkan risiko ketahuan selama dua minggu ke belakang. Masalahnya, gadis itu tidak berekspektasi akan ketahuan secepat itu. Niat awalnya, Nandini mau memberitahu Elisa setelah hari pengumpulan, agar anak itu tidak heboh sendiri. Rencana tinggal rencana, kini ia harus mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kondisinya saat ini.

"Aku izin jelasin boleh, Din?" Adib bertanya setelah memerhatikan ekspresi panik dan wajah pucat Nandini. "Nanti kamu tambahin aja."

Ini keputusanmu sendiri. Kenapa harus orang lain yang menjelaskannya untukmu? Sekonyong-konyong suara muncul di kepala Nandini yang tengah bingung. Jelaskan sendiri. Masalah harus dihadapi, ingat kan?

"Aku saja, Dib." Nandini mati-matian menahan gugup yang mewujud getar dalam suaranya. "Jadi, El ... sebenarnya kemarin aku dibawa ke psikiater karena terkena serangan panik sampai pingsan—"

"Why don't you tell me?" Elisa memotong, raut murka tercetak jelas di wajahnya.

Adib mencoba untuk menengahi. "Dengerin dulu, Lis."

"Maaf, El." Nandini menunduk. "Aku tak ingin merepotkan lebih banyak orang. Kebetulan waktu itu aku bersama Adib dan dia yang mengantarku ke RSJ, makanya dia tahu. Jadilah aku ditangani oleh psikiaternya."

Dahi Elisa mengerut. Nada suaranya sinis. "At that time, kamu kabur pas aku pesenin sesi psikolog. Kok ini nggak?"

Nandini meringis. "Waktu itu, aku sedang belajar untuk menghadapi ketakutanku bersama Adib. Lagipula, aku tidak bisa kabur saat itu, karena tahu-tahu saja sudah dipindahkan ke poli jiwa ...."

ApologiesWhere stories live. Discover now