13

30 6 9
                                    

"Nandini ya? Masuk, masuk!"

Ceklekan pintu diikuti terbukanya pintu ruang dosen, menampakkan Nandini yang sedang tidak mengenakan lensa kontaknya. Rambutnya yang diikat kuncir kuda di bawah telinga bergoyang-goyang ketika ia memasuki ruangan dengan nuansa feminim itu. Setahu Nandini, lab yang menaungi dosen pembimbingnya memang didominasi ibu-ibu, tapi gadis itu baru sadar kalau suasana kantornya juga memancarkan aura keibuan yang kental.

"Duduk, Din!" Bu Lia yang ada di sisi kanan ruangan mempersilakan. "Maaf, ya, saya masih sarapan. Tolong tunggu sebentar, sambil kamu siap-siap."

"Baik, Bu." Nandini mengangguk. Suara gadis itu nyaris mencicit. Bohong kalau Nandini bilang ia baik-baik saja. Nyatanya, sekarang kedua kakinya seakan meminta untuk putar balik saja dan kabur. Jantung pun tak mau berkoperasi,  berdetak jauh di atas ambang normal sampai rasanya dada Nandini mau pecah.

Gadis pemilik rambut sewarna biru malam itu mencoba mengingat-ingat lagi nasihat dari Adib semalam.

Tarik napas—pakai pernapasan perut agar rileks. Buang perlahan. Pikirkan hal-hal baik. Tepis prasangka yang mengganggu. Lagipula, dosen pembimbingnya yang satu ini termasuk jajaran dosen terlembut di jurusan Interior. Seharusnya tidak ada alasan untuk khawatir akan dimarahi.

Tetap saja, skenario terburuk langsung membayang di kepala Nandini begitu ia mendarat di kursi. Bagaimana jika Bu Lia kecewa karena progresnya tidak seperti yang diharapkan? Bagaimana jika ternyata yang ia kerjakan kemarin salah semua? Masih banyak adegan "bagaimana jika" yang berputar-putar di kepala Nandini.

"Apa kabar, Nandini?" Bu Lia menyapa dengan suara lembutnya. Hari ini Bu Lia menyanggul rambut beliau seperti biasa. Jepit bunga kamboja tersemat di sana. "Sehat?"

"Alhamdulillah, Bu." Segaris senyum terpulas di wajah Nandini. Senyum yang cukup tulus, walau tidak bisa dibilang senyum terbaik gadis itu. Ujung bibirnya sedikit berkedut karena panik, tapi ia tetap berusaha mempertahankan senyumnya. "Bu Lia sendiri bagaimana?"

Bu Lia mengangguk. "Sepertinya, kamu terlihat lebih segar dari terakhir kali kita bertemu, ya?"

Reflek, Nandini menyentuh pipinya. Gadis itu sama sekali tidak merasakan ada perubahan fisik. "Ah, mboten, Bu. Dari kemarin saya juga begini-begini saja rasanya."

"Serius, lho, Din. Saya lihat mata kamu lebih hidup." Bu Lia meminggirkan kotak makan beliau. "Jadi, saya sudah baca draft laporanmu. Yang mau diasistensikan bab 1 dan bab 2, benar?"

"Nggih, Bu." Nandini mengangguk, mengiyakan.

"Bagus, lho, progresnya." Wanita paruh baya itu mengacungkan jempol. "Tapi, kalau saya boleh saran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Boleh tolong buka file laporannya?"

Nandini pun membuka file sesuai arahan Bu Lia. Beliau mengambil laptop dari tangan Nandini, kemudian mengetik entah apa di sana. Sepertinya membubuhkan komentar pada bagian yang perlu Nandini perbaiki.

"Latar belakang satu setengah halaman, Din. Terus untuk rumusan masalah tolong dibuat lebih spesifik, masalah apa yang mau dijawab? Lalu, di tujuan perancangan, masukkan konsep yang sudah tertera di judul. Kemudian ...."

Begitu banyak hal yang ditandai Bu Lia setelahnya. Tahu-tahu saja catatan revisi Nandini sudah menghabiskan dua halaman buku ukuran A4. Tak lupa juga coretan dari kertas Bu Lia yang belum disematkan juga dalam buku catatannya.

"Ketemu lagi pekan depan, ya?" Bu Lia menutup sesi bimbingan dengan senyuman. "Tidak harus selesai semua, kok. Pelan-pelan saja progresnya. Yang penting kamu jangan menghilang lagi dari saya!"

"Nggih, Bu." Nandini menunduk malam-malam. "Maaf, ya, Bu, saya menghilang dan menyusahkan Ibu ...."

Bu Lia mengibaskan tangan, menepis permintaan maaf. "Kamu ndak nyusahin saya. Saya kan dosen pembimbing, jadi saya memang tugasnya melayani mahasiswa yang mau bimbingan. Kalau sudah tidak mau, ya saya bisa apa kan?"

ApologiesWhere stories live. Discover now