14

22 6 3
                                    

"Selamat pagi, Nandini." Mata Dok Lis yang kecil nyaris hilang ketika beliau tersenyum. Beliau membenahi kacamatanya. "Wah, ternyata kita bertemu lebih cepat, ya. Bagaimana kabar Nandini hari ini?"

Benar, akhirnya Nandini memutuskan untuk pergi ke psikiater keesokan harinya. Sendirian. Awalnya ia ingin minta tolong ditemani karena tidak yakin dengan dirinya sendiri, sayangnya Adib sudah ada janji bimbingan hari itu. Jadilah sekarang Nandini di sini, berdua saja dengan Dok Lis.

Nandini mencoba memasang senyum terbaiknya. "Baik, Dok."

"Ada keluhan mengenai obatnya, kah? Atau ada yang ingin diceritakan?" Dok Lis sudah bersiap untuk mencatat-catat.

Sejujurnya, Nandini bingung mau cerita dari mana. Terlalu banyak emosi yang menumpuk di dalam dirinya, diikuti oleh keraguan yang menggunung. Namun, kepalang tanggung, ia sudah berada di poli jiwa sekarang. Apakah ia mulai dari apa yang sedang ia bingungkan saat ini? Ataukah mulai dari cerita di masa lalu?

Seakan mengerti kebimbangan Nandini, Dok Lis memberi saran. "Bagaimana kalau Nandini cerita tentang keadaan akhir-akhir ini terlebih dahulu?"

"Ah, ya." Nandini meneguk ludah. "Akhir-akhir ini ... saya merasa lebih baik, sih. Seperti yang diceritakan Adib kemarin, saya kesulitan untuk mengerjakan tugas akhir, tapi sekarang saya merasa lebih baik."

"Kalau Nandini menceritakan kembali tentang apa yang dialami, apakah Nandini berkenan?"

Gadis itu terdiam sejenak. "Yang Adib ceritakan apakah masih kurang, Dok?"

"Dok Lis perlu tahu dari sudut pandang Nandini." Nada tenang yang digunakan Dok Lis demi mempersuasi nyatanya justru membuat jantung Nandini berdegup lebih kencang.

Kamu yakin, menceritakan hal itu pada psikiater yang bakal lebih berpihak pada koleganya? Keraguan di kepalanya angkat suara.

Dok Lis bukan selingkuhan ayahmu. Lagipula, hubungan Dok Lis dan kamu adalah hubungan profesional. Pasti beliau akan memosisikan diri di pihak netral. Suara lain menyahut, menyangkal suara sumbang yang penuh keraguan itu. Kenapa pula suara-suara di kepala Nandini semakin banyak?

Nandini, kamu sudah membayar untuk sesi konsultasi ini. Sayang uangmu, kan? Ayo, kamu pasti bisa menceritakannya!

Nandini menghirup napas dalam-dalam. Matanya mengerjap. Belum-belum, genangan air sudah memenuhi pelupuk mata, seiring hatinya yang sesak dipenuhi sekelebatan memori. "Dok, kalau saya ceritanya tidak runtut, apakah tidak apa-apa?"

"Tentunya tidak apa-apa." Wanita dengan rambut pendek yang sedikit megar itu tersenyum. "Dok Lis siap mendengarkan."

Maka, seiring tumpahnya air dari ujung mata Nandini, mengalirlah cerita hidup gadis itu. Mulai dari masa SD-nya, masa SMP-nya. Kemudian, ketika ia menginjak masa SMA, gadis itu masuk ke sekolah unggulan yang sama dengan sepupu dari garis ayahnya. Perbandingan itu kian menjadi. Tuntutan dari ibu pun semakin tak masuk akal bagi Nandini—walaupun Nandini masih bisa mencapainya. Siswa yang masuk jajaran tiga besar selama enam semester berturut-turut, apa namanya kalau bukan hebat? Meski begitu, jika ada pencapaian sepupunya yang tak berhasil Nandini raih, ibunya akan murka. Selama itu, Nandini lebih dekat dengan ayahnya yang tetap mengapresiasi prestasi Nandini.

Saat hendak memilih kampus dan jurusan, Nandini sengaja memilih kampus di luar kota karena sudah terlalu lelah di rumah. Sungguh, Nandini sayang ibu dan ayahnya, tapi gadis itu lelah terjebak di antara pertengkaran yang disebabkan oleh ekspektasi akan dirinya. Singkat cerita, Nandini masuk ke kampusnya yang sekarang dan menjadi aktivis jurusan, menjajaki dunia baru yang tak sempat Nandini cicipi selama masa sekolahnya.

Semua berjalan dengan baik. Nandini adalah sosok yang sangat ceria, aktif, dan supel pada masa itu. Itu semua sebelum pandemi melanda dan Nandini harus kembali ke rumah.

ApologiesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant