15. Penulis Anonim.

17 14 40
                                    

Markas Komite Intelijen Nasional (KIN)
Surabaya, 2022.

"Ini? Tempat apa ini?" Tungkainya maju lima langkah ke dalam, membiarkan orang yang ikut bersamanya berada di belakang. Dengan menggunakan seragam pegawai warung tempatnya bekerja, pria paruh baya itu mendongak menelusuri ruang gelap yang baru saja ia pijak. Ruang yang cukup luas dengan nuansa hitam putih, beberapa kabinet ditata menyandar pada tembok, meja bundar berukuran besar terletak di tengah ruangan dengan beberapa kursi besi yang mengitari meja itu. Adapun papan penyelidikan di dalam ruangan berdinding kaca transparan yang terletak di bagian timur markas. Ia juga mendapati kertas-kertas melekat pada papan penyelidikan, dan tumpukan dokumen di atas meja kecil dekat papan.

Ketika Lanang menyalakan lampu markas, pria paruh baya itu seketika menganga kagum memperhatikan kondisi sekitar. Seolah tempat pengamatan agen adalah sesuatu yang istimewa baginya.

Mata pria itu bergeser, mengarah pada deretan bilik komputer di dalam ruangan kecil berdinding kaca transparan yang terletak di samping dapur markas. Dirinya kini berdiri tepat di dekat ruangan bilik komputer itu, sehingga ia dapat dengan mudah mengamati benda-benda yang terletak di dalam bilik.

Ini sudah menjadi aturan bagi para agen agar mencantumkan foto wajah dan identitas dirinya di bagian depan bilik komputer. Hanya empat identitas agen yang tampak jelas sejauh mata pria itu menangkap, yang di antara lain secara berturut-turut adalah Rania Mekarsari, Sarah Sulistyawati, dan Owen Olliver.

Foto milik Rania dan Sarah tampak biasa saja di mata pria paruh baya itu, tidak seperti ketika ia melihat foto milik Owen Olliver. Foto agen pria bernama bule yang terpampang jelas di depannya itu rupanya tampak tak asing baginya. Pandangannya terus terpaku pada foto Owen sehingga ia tak menyadari Lanang mulai berjalan mendekat di balik tubuhnya.

Pria paruh baya itu mengerut menerka-nerka; dimana ia pernah bertemu dengan wajah itu? Seakan, ketika kembali menatap fotonya, pria itu seperti pernah memiliki momen bersama dengan Owen. Tapi entah mengapa nama Owen Olliver begitu asing di telinga pria paruh baya.

Sedangkan Lanang yang berdiri di belakang tubuh pria itu sedari tadi merasa heran akan sikapnya. Lanang bisa membaca raut pria paruh baya ketika menatap foto di bilik komputer milik Owen, seolah wajah Owen pernah ditemuinya. Lanang menyeringai tipis. Ia pikir, ia berhasil memancing pria paruh baya itu.

"Kurasa kau tertarik dengan anggota agenku, pak Jantaka?" Pria di hadapannya itu berjengit kaget kala suara Lanang tiba-tiba menyeruak masuk memenuhi keheningan dalam ruangan.

Ya, pria paruh baya yang bekerja sebagai pegawai di Waroeng Cak Brewok itu telah memperkenalkan dirinya ketika tadi berada dalam perjalanan kemari. Jantaka Dwidjanto. Nama khas jawa yang cukup unik bagi Lanang.

"Bukan, aku hanya merasa—"

"—pernah bertemu dengannya?" Lanang melanjutkan ucapan Jantaka sebelum sempat menyelesaikan ucapannya.

Jantaka mengangguk mantap, "kupikir begitu, tapi namanya terdengar sangat asing."

Begitu mendengar hal itu, seolah ada sinar tak kasat mata yang tiba-tiba melesat di benak Lanang.

Pria paruh baya di hadapannya sangatlah mirip dengan sejarawan yang tewas lima tahun lalu dalam tragedi peledakan pesawat di atas Teluk Benggala. Tragedi yang memakan banyak korban hingga lenyap tak bersisa. Lanang ingat betul betapa dahsyatnya kericuhan kala itu. Bahkan ketika memejamkan mata sejenak, momen saat KIN mendapat desakan dari pemerintah untuk segera terbang menuju tempat kejadian dan momen saat Lanang melihat gelombang air laut berubah warna menjadi merah dengan mata kepalanya sendiri pun berputar dalam bayangannya. Siapa yang bisa melupakan tragedi traumatis itu? Lanang pikir, tidak akan ada.

WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang