O1. Sedetik, Boom!

217 56 292
                                    

Pelabuhan Ketapang,
Banyuwangi, 2022.

Langkah kaki Sang pria paruh baya itu tampak rapuh, menusuk uluh hati para pasang mata yang tengah menatap iba di tepi barisan menuju kapal feri, sebab punggung bongkoknya, dan kedua kaki yang berbeda ukuran panjangnya, bertudung kepala yang lusuh, serta tongkat kayu yang setia digenggam sebagai topangan, telah berhasil membuat orang-orang di sekitar mengasihani dirinya yang berdiri di barisan paling belakang.

Sembari membenarkan kain bekal yang menyelempang di bahu kiri; kakek itu menatap mereka dengan penuh tanda tanya.

"Mengapa kalian semua menyingkir? Ayo, ayo, kembalilah ke barisan kalian masing-masing," kakek itu tersenyum ramah sambil mengayunkan tangan tangan; memberikan kode agar mereka semua kembali berdiri di tempat semula.

Pasalnya, si kakek ini sedang berada di pelabuhan yang terletak di perbatasan pulau Jawa dan Bali.

Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Pelabuhan yang tak seberapa luas dan mewah, namun menyimpan kesan elegan.

Jika penumpang kapal mengambil jalur perorang-tanpa kendaraan, maka terdapat satu ritual yang wajib dilaksanakan seluruh penumpang sebelum bersinggah di dalam kapal, yakni pemberian tiket kepada pegawai oleh penumpang itu sendiri, serta pengecekan barang-barang yang akan dibawa.

Biasanya hal itu dilakukan secara bergantian; menganteri. Dan kakek tua itu berada di barisan paling akhir.

Namun beberapa penumpang lain yang tadi lebih dulu berbaris di depan merasa terkejut kala menyadari penampilan si kakek bongkok yang sedikit lusuh dengan pakaian compang-camping, bulir keringat yang mengalir di sekujur tubuh, dan jenggot panjang yang tampak lama tak dirawat.

Lantas satu-persatu dari mereka menyingkir; berdiri di tepi untuk mempersilahkan kakek itu berjalan mendahului. Mereka membuktikan bahwa masih ada kebaikan kasih di zaman seperti ini. Mereka semua mengalah agar Sang kakek tak terlalu lama menunggu di bawah terik matahari yang kian mengapi.

"Tidak apa, kek, biar kami yang berada di barisan paling belakang. Kakek berjalan lebih dulu saja," sahut salah satu pemuda berkaos merah sembari tersenyum ramah. Disambung anggukan setuju oleh orang-orang lainnya.

Rupanya kakek itu berhati batu, ia sama sekali tidak mau menuruti perkataan mereka. "Tidak, sampai sekarang anakku belum kembali, biarkan aku menunggunya sebentar." Ya, Sang kakek ini mempunyai satu anak lelaki yang sudah tua juga- belum menikah hingga menginjak usia 40 tahunan.

"Ayah,"

Terdengar suara berat dari arah barat, beberapa dari mereka menengok; mendapati pria bongsor dengan balutan kemeja putih dan rambut yang ditata rapih ke belakang sedang berjalan mendekat sembari menatap heran manik mereka satu-persatu. "Kau anaknya, 'kan? Cepat antar ayahmu ke dalam kapal lebih dulu. Lihat keringatnya, beliau sudah menunggu disini lebih dari satu jam di bawah panasnya matahari. Ternyata beliau hanya menunggu dirimu." Sudah tak heran jika ada ibu-ibu yang mengomeli orang lain di tempat umum. Padahal ia hanya membelikan minuman untuk ayahnya, tapi antrean di kedainya terlalu panjang, sehingga ia tak kunjung kembali.

Lantas ia menghela nafas sembari mengambil satu langkah; menuntun tubuh kakek tua itu sembari mengambil tongkatnya. "Kita masuk lebih dulu saja, dengan begitu kita punya banyak waktu untuk mencari kamar Cakra," bisiknya sangat pelan di telinga kanan Sang kakek, samar terdengar hingga seperti gumaman.

Pria berbongkok itu sejenak menatap tajam manik kecoklatan anaknya; memberikan isyarat agar tak berbicara mengenai Cakra di dekat banyak orang, hal itu dapat menimbulkan masalah besar.

WANTEDWhere stories live. Discover now