1

153 33 38
                                    

Bocah tambun berambut ikal gondrong itu sudah tiga kali bolak-balik ke Toko kelontong dalam seminggu ini. Aeon mencatat dalam hati setiap kali bocah itu muncul membawa uang dalam nominal besar dan hanya membelanjakannya untuk barang paling murah, paling remeh di toko kelontong.

Setiap kali bocah itu datang, Aeon yang duduk di hadapan mesin kasir akan mengamati setiap inci keberadaanya. Bocah tambun dengan pipi kemerahan akibat iritasi itu benar-benar mencurigakan sehingga Aeon merasa harus menghafal tiap detail perilaku dan penampilannya. Mulai dari rambut yang tidak pernah disisir, dilengkapi dengan  sepatu kekecilan yang tapaknya sedikit menganga. Lalu, kemeja kusut kotak-kotak yang selalu ditutupi sweater butut, dipadankan dengan celana selutut yang ujung-ujungnya robek seperti digunting atau semacamnya. Bocah itu benar-benar berantakan, nyaris seperti kuli atau peminta-minta yang masih di bawah umur. Akan tetapi, keseluruhan penampilan si bocah yang tidak menjanjikan itu, berbanding terbalik dengan uang nominal yang selalu dibawanya ke toko. Aeon jadi bertanya-tanya, dari mana bocah itu mendapatkan uang?

Aeon sekali dua kali memikirkan bocah itu, tetapi nyaris melupakannya karena musim hujan yang datang lebih awal mengguyur Javarta yang meranggas. Sudah seminggu lamanya, bocah tambun aneh itu tidak pernah muncul. Pun toko kelontong paman Aeon yang memilih tutup lebih awal karena udara menjadi lebih lembab dan dingin.

Namun, hari itu, si bocah tambun akhirnya muncul lagi. Kali ini membawa uang nominal yang sama, dalam jumlah paling besar yang dimiliki republik Javarta.

Hujan telah berhenti beberapa jam lalu, menyisakan titip-titik air yang bergelayut di reranting dan cucuran atap. Aeon menatap sayu genangan air di depan Toko Kelontong. Setiap hujan turun, anak laki-laki berkacamata itu jadi lebih sering menggerutu. Bagaimana tidak, setiap kali melewati genangan air, para pelanggan toko banyak yang tak mau ambil pusing untuk sekadar mengeringkan telapak sendal atau sepatu mereka di keset kaki goni yang telah tersedia. Alhasil, jejak-jejak alas kaki berlumpur memenuhi lantai semen toko yang berwarna abu-abu pucat. Seketika saja toko itu terlihat kumuh.

"Permisi!"  suara serak si bocah tambun memecah gerutuan Aeon. Andai saja bocah itu tidak datang, Aeon pasti sudah bergegas menarik gagang pengepel lantai dan membersihkan jejak yang tertinggal dari pelanggan terakhir toko kelontong.

Aeon mengangkat wajah dan menatap bocah berpipi tembam itu dengan ingin tahu. Apa lagi yang akan dibelinya sekarang?

Bocah itu kini memakai mantel hujan berwarna kuning menyala. Titik-titik air meluncur dari plastik mantel yang tipis ketika tubuhnya berputar, melihat-lihat etalase toko.

Aeon kembali memberengut. Namun, ia tidak bisa langsung menegur bocah itu. Pamannya berpesan untuk selalu ramah pada pelanggan, karena pelanggan adalah raja. Jadi, semenyebalkan apa pun tingkah mereka, Aeon harus menjadi pelayan yang baik.

"Hei bocah, mau beli apa?" tanya Aeon sembari mengulas senyum terpaksa. Senyumnya justru terlihat seperti seringai.

Si bocah tambun tampak terkejut. Ia tengah merenungi sebuah toples bening buram yang berisi permen cokelat. "Ah, ya, sa-saya mau permen itu, satu," sahutnya tergagap.

Aeon menaikkan satu alis. "Satu saja?" ulangnya mencari keyakinan. Lagi-lagi bocah ini hanya membeli sebuah permen. Benar-benar perilaku yang ganjil. Bocah pada umumnya akan membeli lebih dari satu jenis kue, sebanyak mungkin, terlebih jika berbelanja dengan uang nominal besar.

Bocah itu mengangguk, sembari menyeka sebelah lubang hidungnya yang berair. Jejak ingus memanjang tertinggal di pipi kirinya yang kemarehan, membuat Aeon memalingkan wajah. Benar-benar menjijikkan.

Aeon masih menunggu pembayaran dari bocah itu sambil menebak-nebak dalam hati besaran nominal pembayaran yang akan dikeluarkannya. Satu tangannya terulur mengambil stoples permen yang kebetulan terletak sangat dekat dengan meja kasir, mengambil sebungkus permen cokelat permintaan si bocah dari dalamnya, tetapi tidak perlu repot-repot memasukkannya ke dalam plastik kresek.

Aeon dan Bocah Benih LabuWhere stories live. Discover now