3

72 32 26
                                    

Aeon adalah bocah yatim piatu yang dirawat oleh pamannya sejak berusia delapan tahun. Menjadi yatim piatu di Javarta yang peradabannya nyaris hancur akibat teknologi berlebihan bukanlah perkara mudah. Tidak ada cukup makanan bagi siapa saja di tengah-tengah krisis pangan yang melanda. Aeon adalah satu di antar jutaan bocah tak beruntung yang harus menjalani beratnya menjadi sebatang kara di dunia yang nyaris porak-poranda. 

Berdiri di hadapan beberapa bocah kurus dan berpakaian seadanya yang menghuni panti yatim piatu swadaya masyarakat sekitar Javarta Barat, Aeon rasanya seperti ditampar telak oleh kenyataan. Rupanya selama ini, Aeon kurang bersyukur dan terlalu tidak peka dengan keadaan sekitarnya. Jadi, beginilah, 'kasus' pertama Aeon berakhir, memang tak sesuai harapan, tetapi membuat Aeon akhirnya memahami banyak hal.

Salah satu bocah yang tadi keluar dari pintu belakang bangunan utama menunjuk-nunjuk ke arah Aeon, sementara sebelah tangannya menggenggam uang pecahan yang sama dengan milik si bocah benih labu. Uang kembalian dari toko kelontong yang diberikan Aeon. "Kakak siapa?" tanyanya dengan suara parau.

Aeon diam saja, seolah kehilangan kata-kata.

"Mars, kamu mau membawa adik-adikmu masuk sekarang? Ajak mereka menyiapkan makan siang, ya." Sang paman mengangguk pada si bocah benih labu yang ternyata bernama Mars. Setelah itu, lelaki paruh baya bercambang tipis itu menatap Aeon. "Aku ingin bicara dengan keponakanku dulu, ya."

Si bocah benih labu tersenyum lebar sambil mengangguk. Dia menuruti paman dengan patuh, tanpa bantahan, berbeda dengan Aeon yang terkadang masih mendebat sang paman ketika disuruh melakukan sesuatu.

"Bapak tidak ikut kami?" Salah satu anak paling kecil mendongak pada paman dengan tatapan ingin tahu, sementara si bocah benih labu memimpinnya menjauh. Suaranya cempreng dan kata-kata yang diucapkannya terdengar tidak fasih.

Paman tersenyum lembut. "Setelah ini, bapak menyusul, ya."

Anak-anak itu lantas kembali k bangunan besar dengan patuh, dituntun si bocah benih labu. Beberapa orang dewasa yang semula sedang bekerja di lalan itu pun mengikuti mereka, setelah melempar anggukan ramah pada paman. Mereka semua terlihat saling kenal, bahkan paman Aeon juga. Kenyataan itu membuat Aeon menunduk malu, melihat kuku-kuku jarinya yang bernoda lumpur kuning.

"Jadi, mengapa mengikuti Mars dan meninggalkan toko kelontong?" tanya paman dengan lembut, tanpa penghakiman.

Aeon mendongak, menemukan tatapan lembut sang paman yang telah berdiri di sisi kirinya. Pipi-pipi Aeon memanas, perasaan malu memenuhi dadanya. Apa yang harus dikatakannya pada paman? Apakah dia harus jujur mengenai prasangkanya terhadap Mars si bocah benih labu.

Sekantung benih labu terlihat terikat pada sabuk kulit di pinggang sang paman. Pemandangan itu membuat Aeon menyadari sesuatu. Jadi, benih-benih labu itu bukan milik si bocah gempal?

"Bocah itu, Mars, sudah empat kali ke toko, membelanjakan uang pecahan seratus ribu Rubiah. Perilakunya sangat aneh, Paman. Jadi, aku memutuskan untuk menyelidikinya," sahut Aeon pelan. Pada akhirnya, ia memilih untuk jujur.

Sang paman mengangguk mafhun.

"Aku kira dia mencuri atau menggunakan uang orang tuanya tanpa ijin. Jadi, aku datang kemari untuk mengeceknya."

"Begitu, ya." Sang paman masih mengangguk. "Jadi, apa yang kau temukan?"

Aeon menunduk lagi. "Bocah itu tidak seperti yang kukira. Dia tidak mencuri uang itu atau membelanjakan uang orang tuanya tanpa ijin." Yah, beginilah 'kasus' pertama Aeon berakhir. Asumsi-asumsi yang sepenuhnya salah. Kecurigaan-kecurigaan yang tak beralasan. Aeon akhirnya sadar jika ia hanya terjebak pada apa yang terlihat, seperti penampilan sehingga memberi penilaian dengan dangkal. Si bocah benih labu sama sekali bukan pencuri, meski terlihat miskin dan mencurigakan. Uang itu ternyata dibagi-bagikannya kepada anak-anak penghuni panti.

"Paman senang akhirnya kau belajar sesuatu." Lelaki paruh baya itu menepuk pelan sebelah bahu Aeon.

Namun, masih ada satu hal yang ingin Aeon tanyakan. "Oh, iya, Paman, mengapa Mars membawa benih labu yang terkenal langka dan mahal itu?"

"Oh, itu, Mars memang sedikit ceroboh sehingga membuat sebagian besar benih labu berceceran ketika membawanya kemari. Kau pasti menemukannya di jalan, ya." Tatapan sang paman terlihat menerawang pada gundukan-gundukan tanah yang baru saja digemburkan di sekitarnya. "Jadi, kami berencana menanam benih labu itu di sini agar para penghuni panti asuhan tidak akan kekurangan makanan. Beberapa waktu belakangan ini, pangan semakin langka sehingga sumbangan dari orang-orang semakin sedikit. Dengan adanya tanaman labu, diharapkan para penghuni dapat bertahan dan berswadaya sendiri di kemudian hari."

Lagi-lagi, penjelasan sang paman membuat Aeon terpana. Prasangkanya pada Mars sungguh sangat tak beralasan dan tak termaafkan. Bagaimana mungkin ia menduga jika si bocah benih labu adalah pencuri sebelum ini hanya karena penampilannya yang seperti itu?

Lihatlah, betapa sepasang mata Aeon telah menipunya. Begitu pula pikirannya, memberi penilaian dangkal hanya dari penampilan semata. Aeon seketika menyesali prasangka-prasangka buruknya terhadap Mars sebelum ini. Dia harus meminta maaf pada bocah itu jika Mars berkunjung ke toko kelontong kelak.

Dalam perjalanan kembali ke toko kelontong, diam-diam Aeon memunguti setiap keping benih labu yang tercecer. Ia menyimpannya baik-baik di dalam kantung kresek dan berniat mengembalikan ya kepada Mars si bocah benih labu. Akhir 'kasus' pertama Aeon telah mengajarinya banyak hal, melampaui pelajaran yang didapatinya ketika membaca buku.

Sinar matahari sehabis hujan menghangatkan kulit Aeon, begitu pula hatinya siang itu. Aeon kembali ke toko kelontong dengan perasaan lebih riang karena kepalanya tak lagi berisi prasangka. Setelah membersihkan lantai toko dari jejak-jejak kaki berlumpur sembari bersenandung pelan, Aeon kembali berdiri di balik meja kasir. Jeno, pegawai toko kelontong paman telah menggantikannya selama Aeon pergi ke panti asuhan.

Aeon berjanji dalam hati, ia akan meminta maaf kepada Mars jika bertemu dengan bocah itu lagi, lalu memberikan kantung berisi benih labu yang telah dikumpulkannya. Sembari membayangkan wajah-wajah kecil nan polos, penghuni panti lainnya, Aeon pun berjanji akan memberi kembalian lebih jika Mars kembali untuk membeli permen di toko kelontong pamannya.






TAMAT
Pontianak, 25 Februari 2023

Aeon dan Bocah Benih LabuWhere stories live. Discover now