0.5 Dandelion

89 28 3
                                    

Sore ini di Kota Bandung.

Lily sudah pindah dan meninggalkan rumah Ibu. Ia tinggal bersama Dimas di rumah yang memang Dimas beli untuk mereka berdua. Dimas memilih untuk work from home dan akan kembali ke Gili Trawangan mungkin Minggu depan. Sementara Lily juga masih bekerja di perusahaan tempat ia bekerja.

Mana bisa ia meninggalkan Arlin, Fenny dan Bayu. Mereka sudah berteman lama. Apalagi dengan Arlin. Gadis itu sering sekali dibilang saudara kembar beda orangtua dengan Lily.

“Dim, untuk lauk makan malam, kamu mau apa?” tanya Lily ketika ia lewat di depan Dimas yang sibuk dengan laptopnya di ruang kerja.

“Apa saja.”

“Tujuanku bertanya padamu supaya aku tidak bingung. Tapi, malah kamu membuat aku semakin bingung. Kamu masak saja sendiri,” pungkas Lily terlihat kesal.

Dimas mendongak dan menatap istrinya yang berdiri di daun pintu dengan tatapan kesalnya. “Menurut kamu omelet seperti hari-hari sebelumnya enak tidak?”

“Selamat datang bisul!” ucap Lily sembari menjauh dari ruang kerja Dimas. Suara gelak tawa suaminya membuat Lily semakin kesal. Ia berjalan menuju dapur dan membuatkan lauk omelet untuk makan malam hari ini.

Di sela-sela ia memasak, kepala Lily terasa sangat pusing sampai ia harus berpegangan pada meja dapur. Wanita itu terduduk dan mematikan kompor ketika pandangannya mulai memburam. Sebenarnya, rasa pusing itu selalu hadir akhir-akhir ini dan Lily hanya meminum obat dari apotik.

Dan tiga hari belakangan ini pusingnya semakin menganggu aktivitasnya.

“Ada apa, Ly?” tanya Dimas yang berdiri di hadapan Lily. Lily menggeleng dan kembali beranjak untuk memasak omelet.

“Hanya pusing biasa.”

“Kamu bisa istirahat terlebih dahulu. Jangan dipaksakan untuk memasak. Biar aku saja.”

“Aku bisa.” Lily terus memaksa, dari mulai memecah cangkang telur sampai mengocok telur dalam mangkuk kecil. Hingga sebuah darah mengalir pada hidung Lily.

“Ly, udah! Taruh semuanya,” suruh Dimas sambil menarik semua peralatan masak yang Lily pegang. Ia menyuruh Lily duduk dan mengambilkan tisu.

“Kita ke dokter habis ini.”

Wanita itu menggeleng tanda menolak. “Ini biasa kok. Kamu jangan khawatir, Dim. Sebelumnya aku juga pernah gini. Dan itu baik-baik saja,” kata Lily sambil mendongak agar darah tak terus mengalir. Ia juga mengelap darah yang terus keluar dari hidungnya.

Tangannya bergetar, pusingnya pun semakin bertambah. Pandangan Lily juga semakin kabur.

“Ly?”

Sampai pada akhirnya ia tak sadarkan diri dalam pelukan Dimas.

🥀🥀🥀

“Kanker nasofaring stadium empat?” Tubuh Dimas melemas seketika saat dokter mendiagnosa Lily dengan penyakit tersebut. Raganya berasa tak memiliki jiwa tiba-tiba.

“Apa bisa disembuhkan?”

Dokter menghela napas. “Karena dia sudah menyembunyikan rasa sakitnya terlalu lama dan sudah memasuki stadium akhir dan sel kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain maka itu tidak mungkin disembuhkan, selain kehendak Tuhan.”

Dimas memegang kedua tangan dokter dengan mata berkaca dan penuh harap. “Tolong sembuhkan istri saya. Kerahkan apapun yang dokter bisa. Selamatkan nyawa istri saya,” mintanya dengan air mata yang mulai mengalir.

Lily yang mendengar hal itu memiringkan kepalanya dengan air mata yang mengalir membasahi bantal. Lily sudah merasakan gejala aneh sejak tiga tahun yang lalu. Namun, ia terus bertahan dengan obat pusing dan flu di apotek tanpa mau memeriksakan kondisinya. Dan ternyata ia mengidap kanker nasofaring.

Yaitu, sel kanker yang menyerang di area belakang hidung dan bagian atas tenggorokan.

“Kami akan memberikan terapi. Namun, hal itu tidak menjanjikan kesembuhan pasien. Anda hanya perlu terus berdoa kepada-Nya.”

Dimas menunduk dan menghela napas panjang. Ia beranjak dan berjalan menuju Lily yang kini ia sudah duduk dengan senyum lebar. Pria itu memeluk istrinya.

“Apa aku akan mati, Dim?” tanya Lily dengan senyum merekah.

“Tidak.”

Lily terkekeh dan membalas pelukan Dimas. “Tidak salah?”

“Jangan berkata seperti itu. Kamu akan sembuh, kita akan terus melakukan pengobatan sampai kamu sembuh.”

🥀🥀🥀

Malam ini Lily terbangun ketika kepalanya kembali sakit dan seluruh persendiannya terasa nyeri. Ia mendudukkan tubuhnya dan menoleh ke samping. Dimas sudah terlelap setelah berjaga dan mengelus kepalanya yang sakit sampai Lily bisa tidur sejenak.

Wanita itu melirik ke sebuah bingkai foto pernikahannya dengan Dimas. Umur pernikahan mereka baru tiga Minggu. Dan Lily mengacaukan semuanya. Benar, seharusnya mereka tidak menikah. Lily tidak mau meninggalkan Dimas dengan keadaan seperti ini. Cinta Dimas begitu besar dan tulus padanya.

Maka dari itu Lily yang merupakan sebuah bunga dandelion selama ini. Yang selalu terbang tanpa tujuan, terbang ke sana ke mari. Pada akhirnya mendarat pada sebuah ladang di mana ladang itu menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Dan ladang itu adalah Dimas.

Lily kembali melirik ke arah Dimas. Dan ia tersenyum. Di sisa umurnya, ia akan berusaha untuk memberikan cintanya pada Dimas. Ia akan mencoba membuka hatinya kembali dan akan membuat Dimas bahagia.

Setidaknya, jika ia harus mati dalam waktu dekat. Ia tidak mati dengan sebuah rasa penyesalan.

🥀🎶🌊🎶🥀

Bersambung...

Harmony Of The Seas ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang