15. Susu Vanilla ✔️

27 4 0
                                    

"Benar ya, kata Tanaya. Kamu berubah setelah kenal cowok kelainan mental itu," ujar Aline sontak membuat Gitta terkejut.

"Siapa cowok kelainan mental yang Tanaya maksud?" Ucap Gitta menatap ibunya begitu menuntut.

"Kamu pikir Mamah nggak tahu apa? Kalo kamu lagi ngejar adik kelas kamu yang namanya Karel. Bahkan demi cowok kekanakan itu kamu sampai nolak Jovan," Ujar Aline menatap tak percaya putrinya, "Gila kamu, Gitt!"

"Apalagi yang Tanaya ceritain ke Mamah?" tanya Gitta kesal sekali, untuk apa juga Tanaya menceritakan tentang kedekatannya dengan Karel pada Ibunya.

  Aline mengambil langkah untuk duduk di sofa sana, pegel juga dirinya berdebat dengan putrinya sambil berdiri. Ia tahu perdebatannya pun tidak akan berakhir singkat sebelum Gitta mendapatkan jawaban darinya.

"Mamah nggak usah ikut campur, ya, sama hubungan Gitta dengan Karel," ujar Gitta seraya mengikuti langkah ibunya.

"Why not?"

  Gitta mengeram kesal melihat gelagat sang Ibu, "Ini hidup Gitta, biar Gitta sendiri yang nentuin masa depan Gitta. Yang jelas, Gitta nggak mau seperti Mamah dan memiliki suami seperti Ayah," jelasnya dengan tegas.

"Oh, ya? Kalau begitu jangan pernah minta apa-apa lagi sama Mamah. Karena selama kamu masih makan dari uang yang mamah berikan, maka kamu masih sepenuhnya harus mengikuti semua keinginan Mamah!" timbal Aline tidak kalah tegas.

  Gadis remaja itu mematung ditempatnya, rasanya baru saja ada ribuan anak panah yang membidik jantungnya. Darahnya mendidih, urat-urat di lehernya menegang, "Gitta nggak pernah minta dilahirin ke dunia ini, Mah," Lirihnya.

"Memangnya salah, ya? Kalo Gitta mau kehidupan yang jauh lebih baik? Gitta cuma mau punya keluarga yang harmonis nanti, dan satu-satunya cara membangun keluarga yang harmonis adalah dengan memiliki calon suami yang baik. Dan untuk mendapatkan calon suami yang baik, aku juga harus menjadi manusia yang baik," Lanjutnya seraya berderaian air mata.

  Gadis remaja itu mengambil langkah besar, meninggalkan sang Ibu yang masih duduk di sofa sana dengan wajah arogannya.

  Ibunya mungkin benar, jika anak masih hidup dari tangan orang tuanya maka ia harus mengikuti setiap ucapan orang tuanya juga. Gambaran masa depan sudah jelas bisa Gitta lihat jika ia mengikuti ucapan ibunya yang seorang mucikari. Kelak, anaknya di masa depan pun tidak akan jauh bernasib sepertinya.

  Dan untuk Ibunya yang tidak ingin mengantarnya ke dokter, Gitta masih bisa pergi sendiri.

🍭🍭🍭

"Dih, loe masih pake bedak? Pake baby cream lagi?"

"Apa, si?" ucap Karel sinis menatap pekikan Brian yang terlihat berlebihan sekali.

  Brian yang sedang tiduran langsung terbangun hanya karena terkejut melihat Karel mengoleskan minyak telon pada perutnya, setelahnya ia memakaikan bedak tabur. Bahkan anak itu memakai cream untuk bayi pada wajahnya.

"Anjir, pantes aja wajah loe putih, mulus banget lagi. Jadi masih pake skincare bayi?" ucap Brian tak habis pikir.

"Brian berisik banget sih?" sahut Karel seraya mengancingkan seragamnya.

"Ya, loe kan udah gede, Karel. Harusnya pake skincare remaja lah," ujar Brian sewot. Ia segera turun dari ranjang untuk berjalan kearah meja rias Karel, lagi-lagi Brian menggeleng mendapatkan isi meja rias itu hanya satu set skincare yang biasanya untuk baby. Bahkan minyak rambutnya pun merek Joh**on, parfum yang dipakai anak itu pun wanginya bable gum.

COTTON CANDY (On Going)Where stories live. Discover now