Crazy - 36

2.7K 313 7
                                    

MAKAN siang bersama mantan tidak pernah ada dalam sejarah agendanya. Walaupun dia pernah menjalin hubungan berulang kali dengan seorang pria, tapi Irin selalu memastikan hubungan mereka telah berakhir tepat setelah mereka memutuskan untuk berpisah.

Tentu saja, kecuali mantan pacarnya yang satu ini, karena Irin mengakhiri hubungan mereka secara sepihak.

Kebanyakan mantan pacarnya adalah orang yang baik dan tahu etika. Sekali pun mereka playboy ataupun bajingan sebelumnya, tapi mereka masih tahu diri saat berpacaran dengannya. Mereka tidak pernah berbuat kurang ajar, apalagi sampai memaksa hanya untuk bisa tidur dengannya. Perbuatan baik mereka jelas membuat Irin melakukan hal serupa.

Keputusan mereka untuk berpisah pun biasanya karena keduanya memang merasa tidak cocok satu sama lain. Irin melepaskan mereka tanpa beban, karena pada dasarnya dia tidak pernah serius saat menjalin hubungan. Dia hanya ingin sedikit mengobati rasa takutnya pada seorang pria dan untungnya semua mantan kekasihnya mau bekerja sama.

Mantan kekasihnya tidak ada yang pernah menaruh dendam padanya. Walaupun mungkin sebagian masih ada yang tertarik dan ingin dia kembali, tapi Irin sudah memblokir nomor mereka tepat setelah hubungan mereka berakhir.

Hal itu sengaja dia lakukan sebagai pertanda agar mereka mau menyerah dan mencari perempuan lain yang lebih baik daripada dirinya.

Tentu saja semua itu kecuali seorang Jonathan atau yang akrab dipanggil Joan.

Dia salah satu anak penjabat negara yang punya nama besar. Dikenal tampan, baik hati, dan selalu dipenuhi senyuman. Saat menerima ajakan pacarannya pun Irin masih menganggapnya bak seorang malaikat yang mungkin sengaja Tuhan kirimkan untuk mengobatinya.

Sayangnya, perlahan semuanya mulai berubah. Joan menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Sifatnya dan perilakunya yang begitu berbanding terbalik dari kenyataan yang biasa ditampilkan olehnya.

Irin harus mengakhiri hubungan mereka secepatnya, apalagi setelah Joan hampir memperkosanya. Irin pun langsung menjauh, sejauh-jauhnya dan tak pernah lagi keluar rumah walau sekadar untuk menemani ayahnya mengunjungi pesta.

Dia takut. Sangat-sangat takut. Dia takut bertemu pria itu lagi. Apalagi jika mereka hanya berdua saja seperti sebelumnya. Irin sangat takut padanya.

Namun kini, dia mencoba mengendalikan diri. Dia mencoba sedikit lebih santai. Tempat ini cukup ramai. Andaikan Joan mengeluarkan sifat aslinya, maka akan ada banyak orang yang bisa menjadi saksi.

"Gimana kabar lo?" Joan tersenyum manis. Tangannya menyangga dagu dan tatapannya intens, hanya tertuju pada Irin seorang.

Semua orang yang ada di sana pasti mengira mereka berpacaran, sayangnya mereka hanya mantan pacar yang berakhir dengan cara mengerikan.

Irin tersenyum tipis. "Lebih baik dari saat gue masih jadi pacar lo."

Joan tersenyum masam setelah mendengar sindiran terang-terangan yang ditujukan padanya. "Apa lo nggak bisa lupain semuanya?" tanyanya, serius.

Irin menatapnya dengan tatapan mencemooh. "Setelah lo perlakuin gue kayak gitu, lo berharap gue bisa lupain semuanya gitu aja?"

Pria itu pasti bercanda. Setelah semua perbuatan yang nyaris membuat Irin mengalami trauma lainnya, dia berharap semuanya bisa dilupakan begitu saja?

Bukannya Irin sengaja ingin mengingat-ingat semua penderitaannya, tapi jujur saja setiap luka yang dia dapat selama ini tidak pernah berhasil disembuhkan dengan cepat. Irin juga tidak mengharap untuk terus mengingat, tapi kenyataan lebih pait daripada angan-angannya.

Joan berdeceh pelan, ekspresi wajahnya mulai berubah dan menunjukkan jati diri yang sebenarnya. "Kalau lo emang marah ataupun dendam sama gue, kenapa lo nggak lapor polisi aja? Bukannya kasus itu sudah cukup buat dibawa ke pengadilan?"

Ada, tentu saja ada alasannya. Ayahnya sudah ngotot ingin membawa masalah itu ke ranah hukum, tapi Irin menolak keinginannya dengan tegas. Dia tidak siap. Mentalnya sama sekali tidak siap.

Susah payah dia mencoba menyesuaikan diri dengan dunia ini, tapi pada akhirnya semua perjuangannya itu akan sia-sia. Semua orang akan tahu bagaimana keadaannya. Apalagi dengan latar belakang keluarga mereka, jelas semua itu tidak akan berakhir dalam sekejap mata.

Irin tidak siap dengan apa yang akan dihadapinya dan Verga terpaksa harus menuruti keinginannya.

"Kenapa? Lo nggak mau bersyukur udah gue lepasin gitu aja? Apa lo lebih berharap gue bawa masalah ini ke kantor polisi? Biar nama keluarga lo yang terkenal itu bisa hancur berantakan sampai nggak bersisa lagi?" Irin mencoba untuk tetap tenang, walaupun tangan yang ada di atas pahanya sekarang sudah mulai gemetar.

Irin hanya sebuah telur yang masih mentah. Dia tampak begitu keras di luar, tapi sangat lemah dari dalam. Alasan itu yang membuat dia tidak pernah berpikiran untuk menikah sebelumnya, karena dia takut disakiti dari dalam. Sakit yang jelas tidak akan pernah bisa dia lupakan dengan mudah.

Joan tertawa kecil menanggapi ucapannya. "Lo bener, untung aja lo nggak bawa masalah itu ke kantor polisi atau semuanya bakal ramai. Sebulan kayaknya masih terlalu singkat, bisa berbulan-bulan beritanya baru kelar. Itu pasti bakal merugikan keluarga gue sekali." Dia membenarkan dengan nada penuh percaya diri.

Irin memalingkan pandangannya ke arah lain. Dia takut melihat mata hitam yang kini seperti berusaha menelanjangi tubuhnya dengan hati-hati. "Baguslah kalau lo masih ngerti—"

"Tapi dari masalah itu gue jadi kepikiran sesuatu."

Irin menoleh kembali, susah payah menatap Joan yang kini tersenyum sangat lebar hingga menjadi serupa seringaian yang tampak menyeramkan.

"Irina ... sebenernya lo masih sayang dan cinta sama gue, kan? Lo bahkan mau menerima semua perlakuan gue waktu itu?"

Ucapan tanpa dasar itu sukses membuat Irin melotot dan menatapnya tajam. "Lo udah gila!" bentaknya.

"Gue nggak keberatan lo panggil gila, asalkan lo mau nerima gue kembali, Irina!"

Irin langsung berdiri dari kursinya. Sambil menenteng tas, dia berniat melarikan diri dari sana. Namun, Joan bergerak lebih cepat darinya. Dia menarik tangan Irin dan mencengkeramnya erat.

"Kenapa lo mau pergi? Bukannya lo masih suka sama gue? Kenapa lo nggak mau kembali ke gue?" Seringai pria itu tampak semakin lebar dari sebelumnya.

"Lo tahu gimana rupa muka lo waktu bilang kayak gitu? Biar gue kasih tahu, lo kayak psikopat, Joan. Gue nggak pernah suka sama lo. Nggak mungkin gue bisa suka sama cowok psiko— awh!"

Irin merintih saat merasakan cengkeraman tangan Joan semakin mengerat di pergelangan tangannya.

"Lepasin tangan gue!"

"Haha, enggak ... enggak akan pernah, Irina." Senyuman pria itu terlihat semakin lebar dan semakin mengerikan daripada sebelumnya.

Irina merasa wajahnya pias. Dia ketakutan setengah mati dan tidak bisa bergerak agar bisa melepaskan diri. Dia sama sekali tidak berkutik.

Dia takut ... sangat-sangat takut.

"Ekspresi wajah lo ini selalu bikin gue ketagihan, Irina. Gue udah nyoba ke beberapa orang, tapi cuma lo yang punya ekspresi wajah luar biasa kayak gini. Gimana gue bisa lepasin lo, kalau gue udah nemuin harta berharga yang nggak ada duanya di dunia ini?"

Irin takut. Dia tidak bisa bergerak. Dia sangat takut. Cengkeraman tangan Joan memang mengerat, tapi bukan sekadar itu saja penyebab dia tidak bisa berkutik kali ini.

Semua itu karena masa lalunya, karena peristiwa waktu itu dia ... telah kehilangan semuanya.

Siapa pun, tolong aku!

Crazy MarriageWhere stories live. Discover now