Crazy - 44

2K 256 9
                                    

TANPA sadar setahun telah berlalu. Irin tidak menyangka bisa melewati satu tahun pernikahannya dengan Rein tanpa masalah apa pun. Semuanya masih berjalan baik-baik saja, tanpa masalah maupun kendala dan tentunya mereka sama-sama merasa bahagia.

"Gue tadi ketemu Syila, perut dia udah gede banget masa? Bukannya baru hamil enam bulan, ya?" Irin berkata pada Rein secara tiba-tiba.

Syila memang dikabarkan hamil empat bulan setelah pernikahannya dengan Jake. Kabar kehamilan itu sempat menyudutkan Irin dan Rein. Mereka menikah lebih dulu, tapi belum juga ada tanda-tanda Irin hamil.

Rein memang bisa menjawab semua pertanyaan dengan santai, tapi Irin merasa sedikit terpojokkan saat mendengarnya. Terutama alasan kenapa mereka belum juga memiliki momongan, alasannya karena Irin belum siap dan belum mau punya anak sekarang.

Rein baru pulang kerja, dia belum mandi, kemejanya bahkan masih basah karena keringat yang mengeluarkan aroma tidak sedap. Terlebih lagi bahasan soal Syila dan Jake memang agak sedikit dia hindari. Pasalnya, Irin akan merasa tersudut dan merasa tidak enak hati saat pembahasan di antara mereka selesai.

"Mana gue tahu, Rin. Mungkin aja dia emang udah mau lahiran. Mereka berdua kan udah sering nyicil buat bayi sejak lama," jawabnya tak acuh.

"Tapi kan lo abangnya!"

"Gue emang abangnya, tapi kalau dia nggak pernah cerita, gue bisa tahu dari mana?" Rein mendengkus pelan, bau keringatnya lama-lama bisa membuat orang lain pingsan. "Gue mau mandi dulu bentar."

"Dih, si abang diajakin ngomong malah main pergi aja!" dumel istrinya.

"Nanti aja, gue mau mandi dulu bentar!" Rein langsung melarikan diri ke kamar secepatnya.

Irin mendengkus keras melihat kepergian suaminya. "Bilang aja kalau nggak mau bahas, main kabur aja seenaknya!"

Karena biasanya Rein akan mengajak Irin untuk mandi bersama, tapi kali ini Rein sama sekali tidak mengungkit soal itu padanya.

Irin memalingkan muka, berjalan menuju dapur untuk menghangatkan makan malam mereka.

***

Rein merasa segar sekali setelah selesai membasuh tubuhnya. Hari ini dia bertugas untuk mengecek langsung keadaan lapangan. Kerja panas-panasan hingga membuat peluhnya bercucuran.

Teman-teman kantornya sontak langsung mengomentari keadaannya yang tampak mengenaskan. "Gini nih jadinya tuan muda yang nggak mau gunain kekuasaannya."

Rein sontak saja mendengkus keras setelah mendengar sindiran teman-temannya. Walaupun dia memang bisa disebut sebagai salah satu tuan muda dari keluarga Gunawan, tapi baik ibu dan ayahnya tidak pernah mengajari Rein untuk terus menengadahkan tangan.

Ayahnya sendiri sejak dulu memang tampak selalu membenci kehadirannya. Sedangkan ibunya, walaupun tampil dengan penuh kasih sayang, tapi dia memiliki pola didik yang keras dan tegas pada anak-anaknya. Ibunya tidak akan ragu memaksa anaknya untuk mandiri, terutama Rein adalah anak laki-laki.

Walau tempo hari ayahnya sempat menawari Rein untuk naik jabatan. Juga ibunya yang dengan entengnya mau memberikan semua tabungannya sejak masih remaja kepada Rein untuk membuat rumah atau membangun usaha baru, jika Rein tidak mau meneruskan perusahaan keluarga.

Sayangnya Rein harus menolak dengan keras semua tawaran itu saat melihat berapa nominal tabungan ibunya. Nominal fantastis yang sukses membuatnya melototi ibu kandungnya sendiri.

Dia sebagai pria dewasa yang berani mempersunting anak orang saja tidak punya tabungan seperempat dari tabungan ibunya. Kenyataan itu saja langsung berhasil membuatnya tersentil luar dalam.

Pantas saja ayahnya selama ini tampak takut sekali ditinggal sang istri, karena ibunya memang bisa hidup santai tanpa keberadaan suami.

Rein berniat keluar kamar untuk menghampiri Irin di dapur saat dia mendengar bunyi ponsel milik sang istri. Rein mendekati nakas, mengambil ponsel Irin yang masih berbunyi dengan sebuah nama pemanggil yang sukses membuat Rein mengernyitkan dahi.

"Intel?"

Tanpa berpikir dua kali Rein langsung mengangkat panggilan itu. Sapaan pertama adalah sapaan sopan dari seseorang yang berpendidikan tinggi. Jika memang seorang penipu, dia tidak akan langsung memanggil nama istrinya dan juga ... tidak mungkin nomor ponselnya bisa-bisanya disimpan oleh Irin.

"Selamat malam, Nyonya Irina."

Ada jeda cukup lama. Rein sengaja membiarkannya.

"Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada Anda. Padahal tugas saya cukup sederhana, yakni mencari informasi dari satu orang saja. Namun selama beberapa bulan terakhir, saya tidak berhasil mendapatkan informasi apa pun tentang seorang laki-laki bernama Akram Hardiansyah Putra. Oleh sebab itu, hari ini saya berniat mengundurkan diri atas ketidakmampuan saya dalam mengumpulkan informasi. Semoga Anda mengabulkan keinginan saya ini, karena saya memang tidak sanggup melakukannya lagi."

Rein mematung selama beberapa detik setelah mendengar semua ucapan itu. Suara orang di seberang sana tampak sedang ketakutan setengah mati. Namun yang lebih membuatnya heran adalah soal mengumpulkan informasi tentang Akram Hardiansyah Putra selama beberapa bulan terakhir?

Rein menelan ludahnya sambil mengerjap dengan tatapan tidak percaya.

Irin tidak pernah mengatakan masalah ini padanya. Sama sekali. Dia tidak pernah membahasnya. Bahkan mungkin saja ... Irin sengaja mau menutupi masalah ini darinya.

Padahal selama ini Rein tidak pernah keberatan mendengar apa pun tentang Akram dari mulut istrinya, walaupun hatinya terasa sakit luar biasa saat Irin membahas pria lain di depan wajahnya.

Namun kenapa .... kenapa Irin menutupi masalah ini darinya?

Apa karena Irin takut Rein akan marah padanya?

Tidak. Sekali pun Rein tidak akan pernah memarahi istrinya. Dia mungkin hanya akan diam saja selama beberapa hari untuk menata isi hatinya, menenangkan gejolak tidak nyaman dipenuhi luka yang ada di dadanya. Namun, dia tidak akan sampai memarahi istrinya.

Lalu kenapa .....

Apa karena Irin tak lagi percaya padanya? Apa karena diam-diam Irin kembali menaruh hati pada Akram yang sudah menghilang sekian lama?

Hanya satu kali pertemuan saja. Semua yang dia kira sudah tersusun rapi selama setahun terakhir dan selalu baik-baik saja selama ini, ternyata bisa menjadi berantakan semua.

Rein mematikan sambungan telepon itu tanpa mengucap satu patah kata pun. Akram memang pergi. Dia telah menghilang, bahkan nyaris tidak meninggalkan jejaknya lagi. Jika melihat gerakannya selama ini yang begitu hati-hati, juga kenyataan bahwa dia tidak bisa bersama Alea lagi. Rein mungkin tahu di mana Akram saat ini.

Akram ada di benua yang berbeda dari mereka. Dunia yang mungkin lebih gelap daripada neraka. Dia sengaja masuk ke dalam sana, sesuai keinginan serta panggilan hatinya. Oleh sebab itu dia sengaja memutus apa pun yang berkaitan dengan masa lalunya.

Namun kenapa ... diam-diam dia masih mengawasi istrinya? Apa yang sudah dilakukannya sampai dia tidak bisa melepaskan pengawasannya dari Irin?

Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan mereka darinya selama ini?

Rein meletakkan kembali ponsel istrinya ke nakas tanpa sadar jika layar ponsel itu sudah retak parah.

Crazy MarriageWhere stories live. Discover now