11°

7.4K 205 0
                                    

"Baskara! Ish!"

"Lepasss!"

"Lo budeg apa gimana, sih! Lepas, gak?!"

Baskara terus memeluk Serana dari belakang. Satu kakinya mengunci tubuh mungil itu, sehingga sang empu tidak bisa bergerak sedikit pun.

Serana menghela napas berat kala Baskara semakin mengeratkan pelukannya.

"Lo kenapa, sih?! Aneh banget, deh!!"

Hal yang menyebalkan bagi Serana adalah ketika pagi harus mengeluarkan energi untuk emosi.

"Kita sekamar, ya?" bisik Baskara, membuat perempuan itu berhasil berhenti memberontak.

"Diem berarti setuju," sambung lelaki itu.

Serana memejamkan matanya. Berusaha menghela napas teratur dan damai atas perlakuan Baskara yang terkadang membuatnya darah tinggi.

"Gue diem tandanya udah gak peduli."

Baskara berdeham pelan, menduselkan kepala pada ceruk Serana. "Jangan gitu, dong, cantik. Gua bakal berubah, kok."

Serana berdecih. "Najis. Gak percaya lagi gue sama cowok modelan kayak lo."

"Mulutnya, Sayang."

"Gak ada sayang-sayangan gue bilang! Budeg, ya, lo?" erangnya yang mulai tersulut emosi.

Baskara terkekeh.

"Udah, ah, sana! Mending lo kerja aja, deh! Di rumah bikin gue kesel mulu!"

Serana melepas tangan Baskara yang melingkar pada pinggangnya. Gadis itu beranjak dari tidur. Melirik sebatas bahu, dengan Baskara yang masih memejamkan mata.

"Terserah, lah. Gue udah capek ngomong sama lo," ucapnya frustasi, lalu mencepol rambut menggunakan jedai.

Dengan gerakan cepat, Baskara menarik tubuh Serana. Membuat gadis itu kembali tertidur di kasur, menghadap padanya.

"Ish!"

"Lo cantik kalau lagi marah."

"Nyenyenyenye, buaya!" elak Serana, menuai kekehan singkat dari lelaki itu.

Perlahan Baskara meraih tangan Serana. Menuntun pada perutnya, dan melingkar di sana.

"Kalau kita punya anak, kayaknya Mamah sama Papah di sana seneng, deh."

Serana menatap intens wajah Baskara dari dekat. Perempuan itu tampak bingung harus menjawab apa.

"Maaf, ya." Baskara tampak serius dengan dua kata yang keluar dari mulut.

Tangannya terus mengusap jemari lentik Serana yang menempel pada perut telanjangnya.

"Seharusnya gua gak labil buat masalah kemarin."

Baskara membenarkan anak rambut Serana yang sedikit menutupi wajah. "Kalau gua putus sama Raska, kita sekamar. Gimana, hm?"

Serana terdiam. Mengalihkan pandangannya pada rambut Baskara yang acak-acakan, namun menambah kesan tampan pada lelaki itu.

"Lo kenapa pengin banget sekamar sama gue?" tanya Serana pelan, kembali menatap manik lelaki itu.

"Emang butuh alesan, ya? Lo, kan, istri gua, Serana Wibisono."

Serana berdecak. Ia kesal dengan Baskara yang menambah panggilan Wibisono di belakang namanya.

"Ya, butuh, lah. Lagian, waktu sebelum nikah juga lo setuju, kan, kalau kita gak sekamar?" balas Serana. "Mau atau enggak gue liatin bukti suratnya? Hm?"

BASKARA [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang