45°

5.8K 146 5
                                    

Now Playing :
Raissa Ramadhani - Berpisah Lebih Indah

•••••

Pagi menyergap. Suara kicauan burung menyapa dua insan yang tengah duduk berseberangan di balkon.

Setengah jam yang lalu, Serana baru saja menyelesaikan mandi pagi di hari libur kali ini.

"Hari ini USG, ya?" tanya Baskara, menoleh pada Serana yang masih lekat menatap lurus.

Serana mengangguk tanpa menoleh. "Semalem aku kebangun terus. Kenapa, ya, Bas?"

Baskara mengernyit. Meraih tangan Serana, dan dimainkan jari mungil itu sambil menatap lurus.

"Udah ngerasa mulai gak enak atau gimana, hm?"

"Gak mau bilang gak enak, tapi gimana, ya ... aku susah jelasinnya," balas Serana, dengan satu tangannya mengusap-usap perut.

"Sini, deh," titah Baskara, menyuruh Serana duduk di kursinya sisa bagian depan.

Dengan patuh Serana menuruti ucapan Baskara. Kini keduanya duduk di satu kursi dengan mata yang sama-sama menatap lurus.

Perlahan tangan Baskara melingkar pada perut Serana. Mengusapnya dengan penuh kelembutan.

"Udah mulai gerak-gerak, ya?" tanya Baskara hampir seperti bisikan dengan suara beratnya, tepat di telinga Serana.

"Eum ... kadang." Ia menumpu tangan Baskara. Ikut menuntun tangan itu mengusap perutnya.

"Jangan tinggalin aku, ya, Bas."

Baskara terdiam. Terus menikmati aroma memabukkan dari kulit leher jenjang Serana yang wangi sabunnya masih melekat.

"I'm lose," gumam Serana, mengakui kekalahannya atas gengsi yang tinggi selama ini.

"And you can spell all feelings it right now," ujar Baskara, menuntun seluruh kata dengan pelan.

Degup jantung Serana mulai tak karuan. Sialnya, matanya ikut berkaca-kaca saat mengingat seluruh sebagian hidupnya kini sudah bergantung pada Baskara.

Ralat. Seluruh hidupnya sudah bergantung pada Baskara.

Dengan lembut, ia memeluk lengan lelaki itu. Menempelkan pipi yang hangat pada kulit lengan Baskara yang telanjang.

"Jiwa aku udah nyatu di kamu," ucap Serana sangat pelan, hampir seperti bisikan.

"Dari kapan?" balas Baskara penasaran, tanpa menjeda usapannya pada perut Serana.

"Eumm ... setelah selesai sama Dean."

"Dan?"

"Dan setelah aku bener-bener ngerasa ... sejauh apapun perasaan aku ke Dean, pulangnya tetep ke kamu."

"Rumah gak selamanya bangunan," bisik Baskara. "And i win."

"Kita pemenangnya," koreksi Serana.

"Hm?"

"Kita yang nerima paksaan ini. Dan kita juga yang ngelupain paksaan ini pakai perasaan."

•••••

"Ini kita makan apa, ya, anjir. Masa iya gua nagih sarapan ke mereka?" tanya Petro, terus berjalan ke kanan-kiri mencari ide yang terbaik.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun Serana dan Baskara belum keluar dari kamar.

"Ck, udahlah. Tahan dikit perut lo bentar. Lemah banget," cibir Pura, sambil bermain ponsel di atas kasur.

BASKARA [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang