Kejutan

215 45 8
                                    

"Kacau banget kayaknya," bisik Hara ketika aku tiba di kubikelku lagi. "Kaivan kenapa?"

"Dia tidak mau meneruskan proposal kredit Idrus Hamid," jawabku.

"Apa?!" Hara menyeret kursinya mendekati meja kerjaku. "Serius? Alasannya apa?"

"Dia bilang, jika dia harus mempercayai kata – kataku tentang kami di masa depan yang menikah dan kemudian saling menyakiti, itu artinya dia juga harus mempercayai kata – kataku tentang kredit Idrus Hamid yang akan macet nanti."

"Dia ngomong gitu?" Hara mengerutkan keningnya. Tampak dari ekspresi gadis itu betapa dia sangat terkejut mendengar ucapanku.

"Iya." Aku mengangguk.

"Nah kan, sudah kubilang. Kadang – kadang kita tidak perlu mengatakan semua hal meskipun itu adalah kebenarannya."

"Entahlah, Ra. Aku tidak tahu harus apa lagi sekarang."

"Lihat sisi baiknya kalau begitu. Setidaknya, kamu tidak perlu berurusan dengan kredit macet Idrus Hamid di masa depan."

Sejujurnya, aku sama sekali tidak melihat adanya hal positif pada kejadian ini. Pikiranku kacau balau. Perasaanku campur aduk. Kaivan bilang dia akan pergi dan informasi itu benar – benar mempengaruhiku. Mempengaruhiku dengan cara yang aneh. Mempengaruhiku dengan cara yang aku tidak menyangka akan merasakannya. Apakah ini kesedihan dan takut kehilangan yang tengah aku rasakan? Apa yang terjadi padaku? bukankah menjauhi Kaivan adalah tujuanku sekarang?

***

Aku rasa aku tidak punya waktu untuk memikirkan tentang Kaivan. Pun tentang kelanjutan hubunganku dengan Adri. Maksudku, aku bisa menunda memikirkan tentang itu semua, bukan? Sekarang prioritas utamaku adalah Bapak. Bapak pula alasanku terbang empat puluh menit dengan pesawat ATR dari ibu kota provinsi di hari Sabtu yang agak mendung ini.

Setelah pembicaraanku di pekarangan belakang kantor bersama Kaivan, kami tak lagi saling berinteraksi. Aku tahu dari Hara, Rano dan karyawan – karyawan lain bahwa Kaivan sudah mendapatkan approval dari Head of Business Banking untuk rencana mutasi ke Jakarta. Tidak diberi sanksi apa pun atas kegaduhan yang dia buat dengan pertimbangan bahwa Kaivan adalah pegawai yang memiliki banyak potensi untuk berkembang. Dan memang seperti itulah Kaivan Leo Mahendra. Ambisius dan persisten. Dia memang penuh potensi, baik sebagai pegawai, individu, suami, ayah dan ... ayoah Sagita! Bisakah sedetik saja kamu tidak memikirkan Kaivan?

Rencana pemberian fasilitas kredit untuk Idrus Hamid akhirnya terpaksa ditunda hingga unit kami menemukan SRM pengganti yang tepat. Pulangku kali ini juga mungkin memang aku butuhkan untuk menenangkan pikiranku dari berbagai kemelut masalah yang silih berganti terjadi. Masalah yang kata Hara, aku sendiri yang mengundangnya dalam hidupku. Hara masih beranggapan bahwa mengungkapkan jati diriku dan kebenaran akan perjalanan waktu yang aku alami pada Kaivan adalah hal yang keliru. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Hara menyarankan aku untuk fokus pada hubunganku bersama Adri. Sabtu ini sebenarnya Adri hendak mengajakku untuk menonton pemutaran film di Illegal Library, tetapi yang kulakukan malah pulang ke rumah Bapak.

Aku mengetuk tiga kali pada permukaan pintu. Pintu yang bahkan sudah kuhafal setiap goresan serat – serat kayunya. Rumah yang sudah aku hafal dengan baik seluk – beluknya. Rumah dan kampung halaman tempatku lahir dan dibesarkan.

Tidak ada jawaban dari dalam.

"Bapak!" panggilku. Aku sebenarnya ingin memberikan kejutan ketika Bapak membuka pintu nanti. Aku tidak mengabari Bapak untuk kepulanganku kali ini tapi sepertinya dia tidak ada di rumah. Kemana perginya Bapak?

"Bapak!" Aku memanggil sekali lagi sambil menekan gagang pintu dan aku terkejut karena daun pintu itu membuka. Jika Bapak keluar rumah, kebiasaannya adalah mengunci pintu dan pagar. Tapi kenapa pagar dan pintu terbuka sementara tidak ada tanda – tanda kehidupan dari dalam rumah?

Daun pintu membuka lebih lebar. Aku masuk ke dalam rumahku. Ruang tamu lengang. Ruang tengah yang merangkap ruang makan pun lengang.

"Bapak!!!" tubuh Bapak tergeletak di ambang pintu kamarnya. "Bapak!!!" Pikiranku belum bisa merespon dengan baik atas pemandangan yang dilihat oleh mataku. Bapak terkulai di atas ubin. Sejak kapan? Kenapa dengan Bapak? apa dia pingsan? Tidur? Atau ... untuk opsi terakhir aku bahkan tidak berani memikirkannya.

Tidak. Tidak mungkin. Ini tahun 2017. Tidak ada yang terjadi pada Bapak di tahun 2017. Belum terjadi apa – apa di tahun 2017 ini, bukan? Aku menghampiri tubuh Bapak dengan kepanikan yang luar biasa. Ketika jemariku menyentuh lengannnya, ada kelegaan luar biasa yang mengguyurku karena masih merasakan temperatur tubuhnya yang hangat. Orang mati tidak sehangat ini. Setidaknya itulah yang kurasakan ketika mendekap jenazah Bintang dulu. Tubuh dingin Bintang yang tidak bisa aku lupakan sama sekali.

"Pak. Bapak." Aku mengguncang pelan tubuhnya tetapi tidak menemukan reaksi apa pun dari Bapak. Dia masih bernapas. Denyut nadi di lengannya masih teras. Aku tidak memiliki latar belakang medis sama sekali tapi aku yakin itu adalah pertanda baik. Untuk itu aku segera berlari keluar bangunan rumahku, terus berlari melintasi pagar dan menghambur ke pintu rumah Tante Salma dan Om Ridwan, tetangga kami.

"Om Ridwan! Tante Salma!" Aku mengetuk – ngetuk pintu rumah mereka dengan tergesa – gesa.

"Gita!?" Om Ridwan, lelaki yang sebaya Bapak, mungkin sedikit lebih muda, yang membukakan pintu. Terkejut menatap wajahku yang panik dan berkeringat. "Ada apa?"

"Bapak, Om. Tolong Bapak! Bapak pingsan."

"Astaga!" Om Ridwan berseru lalu tanpa menunggu lebih lama lagi dia berlari menuju ke rumahku.

"Loh, Gita? Ada apa?" suara Tante Salma menahan langkahku yang hendak menyusul Om Ridwan.

"Bapak pingsan."

"Ya, ampun!" Tante Salma mengatupkan kedua telapak tangan di depan mulutnya. "Pingsan lagi?"

Aku mengernyit. "Lagi?"

"Kamu tidak tau?" Tante Salma menyadari keherananku. "Ini sudah yang kedua kalinya. Pertama kali Bapak kamu pingsan di teras. Untung kami lihat."

"Apa? kapan itu, Tante?"

"Sekitar seminggu yang lalu," jawab Tante Salma. "Ya, persis begini kejadiannya, kami bawa dia ke ...."

"Bu! Ibu! Nyalakan mobil!" Ucapan Tante Salma terjeda oleh kemunculan Om Ridwan. "Kita bawa Arman ke rumah sakit sekarang!" Lalu sebelum aku bisa menanyakan apa pun, Om Rindwan kembali kembali masuk ke dalam rumah sementara Tante Salma tergopoh – gopoh menuju ke arah garasi mobil mereka.

Apa yang terjadi? Apa yang terjadi saat ini? di tengah kekalutanku, aku mencoba menggali – gali memoriku. Apa yang terjadi di tahun 2017? Apakah ada yang terjadi pada Bapak dan tidak kuketahui?

Bunyi deru mobil terdengar.

"Gita, kamu mau ikut?" suara Tante Salma. Ketika aku menoleh, dia sudah berada di dalam mobil. Duduk di kursi depan di sisi penumpang.

"I ... iya, Tante." Aku bergegas naik ke dalam mobil, duduk di kursi bagian belakang. "Tapi, Bapak ...."

"Tenang saja. Itu."

Aku mengikuti arah pandang Tante Salma dan bisa kulihat Om Ridwan sedang membopong tubuh Bapak yang terkulai lemas di punggungnya. Jantungku bertalu – talu seakan mau meledak. Om Ridwan membopong tubuh Bapak hingga ke sisi mobil dan meletakkannya di kursi bagian belakang kendaraan ini. Setelah itu dengan masih tergesa – gesa, Om Ridwan segera masuk ke dalam mobil, duduk di kursi kemudi dan mulai memindahkan perseneling.

Kepala Bapak kini terkulai lemas di atas pangkuanku. Belum juga sadarkan diri. Tanganku gemetaran. Tubuhku bergetar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di situasi tak terduga semacam ini tetapi yang aku ingat, tanganku merogoh saku jaket yang tengah kukenakan, mengeluarkan ponselku dan mendial sebuah nomor.

"Bapak pingsan, Kai! Bapak pingsan. Sekarang aku lagi di jalan ke rumah sakit. Bisa kamu ke sini?"[]

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang