[3]

214 48 19
                                    


Sasuke melipat tangan. Wajahnya menunduk, menatap pada lantai kamar yang sebenarnya sama sekali tidak menarik untuk dipandangi. Kakinya yang sedari tadi menyilang kini mulai mengetuk-ngetuk pelan, berusaha mengusir bosan. Bukan. Ia sama sekali tidak pernah merasa bosan dengan kesunyian. Ia justru menyukai semua hal yang berbau hening dan sepi, membuatnya dapat merasakan ketenangan. Seolah-olah semuanya terasa damai.

Namun kedamaian yang dinanti tak jua hadir karena kebisingan yang sebenarnya ada di dalam kepala Sasuke, yang sedari tadi sibuk memikirkan seseorang. Sudah berjam-jam ia berada di sini, tetapi belum ada sedikit pun kabar mengenai kondisi Hinata yang ia terima. Sebagai rekan kerja, Sasuke kira rasa cemas ini tentu benar adanya. Akan tetapi Sasuke sadar betul kalau Hinata bukan sebatas rekan kerja baginya. Entah sejak kapan.

Sasuke cukup tahu diri untuk menahan perasaannya. Sejak dulu ia telah berhasil melakukannya, maka seharusnya kali ini juga mudah untuk Sasuke lalui. Hinata sudah punya seseorang yang menjaganya, dan itu jelas bukan dirinya. Namun kecemasan ini terasa lain. Bayangan Hinata yang tergelatak bergenang darah tak juga mau enyah. Membuatnya resah. Sasuke butuh tau keadaannya, Sasuke butuh tahu kalau Hinata baik-baik saja. Hanya itu. Maka setelahnya, ia pun pasti bisa kembali mengendalikan diri.

Sudut mata Sasuke seketika bergerak. Saksi yang tengah berbaring di tempat tidur bergerak gelisah. Alisnya berkerut dalam. Sasuke juga menemukan keringat membasahi dahi gadis itu, tetapi ia merasa tak perlu melakukan apa-apa. Ia hanya perlu menunggu di sini, itu yang Kakashi tugaskan padanya.

Gerakan kepala gadis itu makin tak beraturan, seolah menolak apa yang tengah diperlihatkan oleh mimpinya. Mimpi yang buruk. Sasuke bisa menebak karena kini isakan meluncur dari mulutnya yang perlahan berubah menjadi jeritan ketakutan. Pada akhirnya kedua mata gadis itu pun terbuka.

Sasuke kira setelah terbangun semuanya akan kembali hening. Namun gadis itu justru menangis. Lututnya menekuk, wajahnya dibenamkan seakan hal itu dapat mengurangi suara tangisnya yang menjadi-jadi.

Pada akhirnya Sasuke kembali menundukkan kepala, merasa tidak perlu melakukan apa-apa. Ia biarkan saja gadis itu menangis dengan sepuasnya.

"Aku takut."

Suara gadis itu membuat Sasuke menoleh, menatap mata sembab milik Haruno Sakura. Saksi dari kejadian malam itu.

Sasuke mengangguk paham. "Beristirahatlah. Aku akan pastikan kau aman di sini."

"Benarkah?" Sakura bertanya dengan suara yang serak. Gadis itu menunjukkan rasa takutnya dengan kentara.

Lagi-lagi Sasuke mengangguk, berusaha meyakinkan.

Namun Sakura justru mengangkat tangannya. "Bisakah ... aku memegang tanganmu?" pintanya ragu.

Sasuke tentu tidak langsung mengiyakan permintaannya. Ia masih menatap uluran tangan Sakura yang dilapisi perban. Luka yang Sakura dapatkan dari goresan vas bunga. Sebuah usaha nekat dari wanita itu untuk selamat.

Tiba-tiba Sakura berkata lagi. "Itu .... " Sakura berhenti, mengigit bibirnya. Air matanya pun jatuh lagi. "Maaf, tapi itu hanya ... hanya sebagai jaminan kalau kau benar ada di sini, menjagaku."

Sasuke masih bertahan dengan diam. Tak pernah menyangka kalau mengurus saksi akan semerepotkan ini, lebih dari repot yang ia duga sebelumnya, tetapi tugas tetaplah tugas. Lagi pula ia bisa mengerti alasan Sakura meminta hal konyol tersebut.

Sasuke lalu meraih tangan Sakura. Wanita itu langsung menggenggam dengan erat seakan semua nyawanya berada di sana. Gemetar di tangannya juga memberitahukan Sasuke betapa takutnya Sakura. Gadis itu pun kembali berbaring. Lengannya yang lain sudah menutup kedua matanya.

GHOST FILEWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu