[02] Aqlan Kai Baskara

30 3 5
                                    

Selamat Membaca
******


Suara musik menggema memenuhi kamar. Alan bernyanyi mengikuti nada musik yang dia hidupkan melalui ponselnya. Sambil memakai baju seragam sekolah, dia menirukan gaya penyanyi kesukaannya itu. Sesekali Alan menjadikan sisir rambut miliknya sebagai microfon sambil menatap kaca yang ada di dalam kamarnya. Alan dengan percaya diri bernyanyi seperti di atas panggung.

Alan memang meiliki suara yang bagus. Tapi, untuk bernyanyi di keramaian, dia kurang percaya diri karena kejadian masa lalu. Hanya bersama orang terdekatlah Alan berani bernyanyi lepas tanpa ada keraguan sedikit pun. Terlebih bersama Sangga, abangnya.

Alan memandangi dirinya di kaca. Baju putih beserta celana abu-abu yang dia pakai terlihat pas dengan ukuran tubuhnya yang berisi. Semangatnya untuk pergi ke sekolah pagi ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tidak pernah Alan punya semangat seperti ini untuk pergi sekolah karena satu alasan yang sering ia katakan terhadap bundanya. Ya, bangun pagi. Bangun pagi merupakan musuh bebuyutannya sejak lama.

Alan mengambil ponsel lalu mematikan musik yang telah dia hidupkan sejak tadi. Mengambil tas yang terletak di atas meja belajarnya seraya berjalan keluar dari kamar. Dia berjalan menuju ruang makan. Dua pasang mata tertuju pada Alan, mereka berada antara heran dan bingung yang bercampur jadi satu. Apakah laki-laki ini sedang dirasuki makhluk halus atau semacamnya?

“Pagi Yah, Bun,” ucap Alan sembari duduk bersama kedua orang itu dan meletakkan tas yang ia kenakan di atas meja. Alan mengambil sendok dan garpu yang telah disiapkan dalam piringnya sembari mengeksekusi nasi goreng buatan bundanya itu. Seperti biasa, nasi goreng buatan bundanya adalah nomor satu yang tidak akan tergantikan.

“Bang Sangga kapan kesini lagi, Bun?”

“Kamu tau sendiri kan Lan, keadanya bagaimana? Apalagi kalau om Tio-mu sampai tahu dia ke sini,” jawab Mila sembari menuangkan air putih untuk anaknya.

“Ya sudah, biar Alan saja nanti ke sana buat nemuin dia.”

Arman menoleh ke arah anak laki-laki remaja satu-satunya yang dia miliki. “Kamu jangan ngerepotin Abangmu terus,” ujarnya.

“Enggak kok, Yah. Alan cuma kangen sama dia doang, udah beberapa hari ini kan, dia enggak datang ke rumah kita,” tukasnya seraya mengambil air putih yang telah diisi penuh.

Alan kemudian berdiri dari kursi yang dia duduki sembari mengambil tas dan menyandangnya kembali, dengan langkah santai namun tegap berjalan menuju dua orang yang ia sayangi dalam hidupnya.

“Alan berangkat dulu.” Dia menyalami kedunya dengan penuh hormat.

Alan meninggalkan keduanya dan pergi keluar dari rumah, berjalan menuju bagasi dan menghidupkan motor miliknya. Setelah dirasa panas, Alan menaiki motor tersebut lalu meninggalkan rumah dan berangkat menuju sekolah.

Aqlan Kai Baskara, dia biasa dipanggil Alan. Dia adalah siswa di SMA Arunika dan duduk di kelas dua belas IPS. Alan akan segera akan lulus.

Alan memiliki beberapa hobi. Selain mendengarkan musik, bernyanyi, dan olahraga, mengganggu saudara seibunya adalah hobi yang teramat sangat dia sukai. Entah kenapa, walaupun Alan tidak tinggal satu atap dengan Sangga, hubungannya dengan saudara seibunya itu sangat erat layaknya abang dan adik pada umumnya.

Setelah kurang lebih 10 menit mengendarai motor, SMA Arunika kini berada di hadapan matanya. Putih berpadu brown sugar adalah warna yang telah tertanam untuk sekolah ini. sehingga terlihat elegan.

Alan memarkirkan motornya di parkiran yang telah disediakan sekolah. Sembari berjalan menuju kelasnya, matanya tertuju ke depan, tepat ke arah seorang anak laki-laki teman sekelasnya. Elio, salah satu teman terdekatnya di kelas. Alan berlari kecil, bergegas menghampirinya.

CAMARADERIE [ongoing]Where stories live. Discover now