[03] Dawa Kirana Putra

17 2 2
                                    

Selamat Membaca
*****

"Hai kamu masih ingat, saat kita pertama bertemu?"

Elio mengetik pesan pada layar gawai miliknya untuk dibaca oleh seseorang di sampingnya.

Nyaman. Itulah satu kata yang dapat diungkapkan setelah memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan cantik dan begitu eksotis. Setiap warna dalam lukisan tersebut seolah muncul dan hidup. Tidak lupa lantunan Gendingan musik Jawa mengalun indah, begitu sopan memasuki telinga. Suasana jadi terasa hangat dan menenangkan.

Senyum pemuda itu terpulas. Senyumnya begitu manis serta matanya tak henti-hentinya memandang sebuah lukisan yang tepat berapa di depannya. Lukisan sang rembulan yang dikelilingi oleh cahaya temaram para bintang. Ia benar benar menikmati apa yang terjadi di depannya.

Tak lama pemuda itu begerak, berjalan perlahan menuju salah satu lukisan yang mencuri perhatiannya. Dia sudah berada di depan lukisan itu cukup lama. Matanya kembali berbinar. Senyumnya merekah. Terlihat sekali, pemuda itu menikmati kembali suguhan yang berada tepat di depan matanya. Sebuah lukisan senja di lautan dengan corak dan gradasi warna biru serta orange yang kemerah-merahan. Sangat cantik.

"Permisi Mas, permisi Mbak."

Terdengar suara dari sudut lain ruangan. Dari sumber suara terlihat seorang pemuda yang sedang membawa peralatan melukis. Di tangannya tertenteng sebuah palet yang masih penuh dengan cat minyak, serta di tangan kirinya pemuda tersebut membawa kanvas yang masih putih.

"Permisi Mas, Mbak, permisi." Suara itu semakin terdengar kencang dan mendekat.

"Dawa awas ... " Terdengar suara perempuan dari jauh. Namun pemuda yang dia panggil tak bergeming dan tetap pada posisinya.

Braak ... Akhirnya tabrakan tak terelakan.

"Budek kamu, ya?" kesal pemuda itu. Wajahnya memerah, kuas dan peralatan lainnya berhamburan di lantai.

"Ah dasar tuli." Pemuda itu lalu memunguti barang barangnya yang terjatuh. Palet yang berisi warna yang masih segar tercecer di lantai.

"Maaf, Mas," ujar wanita paruh baya yang tiba-tiba datang dan tak tahu dari mana asalnya.

Pemuda itu hanya mengangguk lalu tak lama dia pergi meninggalkan kegaduhan yang terjadi.

"Mas Dawa tidak apa-apa?" tanya perempuan setengah baya itu dengan bahasa isyarat pada pemuda di hadapannya.

"Tidak apa-apa Bu Nurma," jawab Dawa dengan bahasa isyarat pula.

"Biklah kalau begitu mari kita lanjutkan ke ruangan sebelah," ajak Bu Nurma.


Sang surya sedang ingin ke peraduannya, warnanya yang elok dengan semburat keemasan membuatnya tampak indah.

Andromeda Galery.

Terlihat Dawa sedang duduk di salah satu sisi galeri seni yang terkenal itu. Sorot matanya menatap tajam ke arah sang surya yang berlahan-lahan tenggelam.

"Ini Nas Dawa." Bu Nurma menyodorkan sebuah gelas berisi penuh ice vanillalatte.

"Terima kasih," jawab Dawa dengan bahasa isyarat.

Dari jauh terlihat seorang pemuda memperhatikan gerak gerik Dawa. Tiba-tiba ada rasa ngilu yang dia rasakan. Rasa bersalah yang membuatnya tidak nyaman. Dasar tuli, kata-kata itu terngiang-ngiang di pikirannya.

"Aih bodoh sekali aku," ujarnya bergumam.

"Heee Elio ngapain kamu di situ?" Suara itu membuat pemuda bernama Elio itu tersentak dan mengembalikan kesadarannya.

"Enggak, sebentar aku akan menyusulmu, tunggu saja di tempat parkir," jawab Elio mengangguk ringan sambil masih memusatkan perhatiannya pada pemuda yang tadi ditabraknya.


"Hahaha ... Kamu tahu aku merasa sangat bersalah waktu itu," ujar Elio dengan bahasa isyarat yang dia bisa.

"Tentu saja, kamu selalu mengucapkan itu berkali-kali, dan itu konyol," jawab Dawa dengan bahasa isyarat pula.

Keduanya lalu tertawa mengingat kekonyolan mereka saat itu, masih banyak hal-hal konyol dan bodoh yang mereka lakukan berdua.

"Kamu ingat malam itu saat kamu pertama kali ke pasar malam, hahaha itu sangat menyenangkan," ujar Elio tiba-tiba.

"Heee itu bukan kali pertama aku ke pasar malam, hanya saja ... " Dawa tak melanjutkan ucapannya, wajahnya murung seketika.

Ada rasa bersalah menghampiri hati kecil Elio ketika melihat wajah Dawa yang berubah 180 derajat. Dawa sadar dengan isi hatinya lalu ia menoleh ke arah Elio. Melihat wajah Elio yang berantakan dia pun melebarkan senyumannya. Dawa tidak akan membiarkan sahabat baiknya itu merasa tidak enak, canggung, atau merasa bersalah padanya atau pada keadaan fisiknya.

"Tentu saja itu sangat menyenangkan, apalagi waktu aku melihat kamu dan Alan mengejar gadis-gadis itu," kata Dawa dengan gerakan tangannya sebagai tanda bahasa isyarat.

***

Mata Dawa tak bisa ia pejamkan.  Pikirannya melalang buana mencari tempat ternyaman untuk menenangkan diri. Kasur nyamannya seolah tak memberikan ruang yang dia inginkan. Suasana hening yang dia rasakan sejak lima tahun lalu terakhir terkadang membuatnya cemas dan ketakutan, bahkan suara petir pun dia tak dapat mendengarnya lagi.

Dret dret drett ...

Gawainya bergetar. Merasakan hal itu, pikiran Dawa kembali ke tempatnya. Dia mengambil gawai tersebut dari atas nakas yang tepat berada di samping ranjang tidurnya. Dilihatnya sebuah pesan dari Elio muncul pada notifikasi layar gawai tersebut.

~ Elio
Masih belum tidur kamu bro?

Iya seperti biasa, jawab Dawa.

Lama tak ada balasan dari Elio. Lebih dari tiga puluh menit gawai Dawa kembali bergetar.

~ Elio
Tolong buka pagar aku ada di depan, cepat aku sudah ngantuk.

Dengan cepat Dawa beranjak dari tempat tidurnya. Dia berlari menuju depan rumah. Dengan senyum yang tersungging.

Hahaha si bodoh telah datang, batin Dawa.
Entah sejak kapan Dawa seolah kembali hidup, ia seolah merasakan kembali hangatnya matahari dan mendengar kicauan burung.

Di balik pintu gerbang terlihat Elio berdiri sambil mengusap-usap pelupuk matanya. 00.59. Jam menunjukan waktu tengah malam telah lewat.

"Kamu dari mana?" tanya Dawa dengan bahasa isyarat seraya membuka pintu pagar rumah.

"Tadi habis main sama Alan," jawab Elio dengan bahasa isyarat yang agak malas dari tangannya.

"Lalu ngapain ke sini?" tanya Dawa kembali.

"Hehehe kunci rumahku hilang," jawab Elio dengan enteng.

"Dasar bodoh," timpal Dawa seraya menoyor kepala Elio. "Ayo masuk."

Elio hanya tersenyum kecil kemudian mengekor di belakang Dawa masuk ke dalam rumah. Terjadi perbincangan di antara keduanya, dalam hening mereka berdua berbicara. Tawa dan canda mereka saling melontarkan melalui bahasa isyarat atau melalui pesan teks di ponsel. Terlihat juga mereka berdua saling usil dan mengganggu satu sama lain, menoyor kepala, saling tonjok bahkan kejar-kejaran di dalam ruangan, seperti bocah pada umumnya.

Dawa dan Elio sudah menjadi teman baik sejak pertemuan pertama mereka yang memberi kesan tidak terlalu baik. Dawa dengan kekurangannya dan Elio yang membantu Dawa menikmati hidupnya kembali sebagai seseorang yang baru. Seseorang yang tidak lagi bisa mendengar.

*****
Hai, selamat datang di bagian 03 cerita Dawa.
Jangan lupa tekan bintang dan berikan komentar untuk mendukung para penulis, ya.

Sampai jumpa di chapter berikutnya.

CAMARADERIE [ongoing]Where stories live. Discover now