Bab 28 Jatuhnya Citra Arsyanendra 1

470 47 1
                                    

Sang mentari menyapa pagi dengan senyumannya yang menenangkan hati. Pagi itu, perasaannya cukup senang sudah melupakan kegelisahan malam tadi.

“Sudah siap?” tanya Elisa tersenyum.

“Siap dong!” jawab Anisha semangat.

Mereka pun segera berangkat ke kampus menggunakan mobil Elisa. Sepanjang perjalanan mereka sibuk bercerita dan nobar film di laptop Elisa. Hingga beberapa menit berlalu, ponselnya tiba-tiba berdering keras memperlihatkan nama sahabatnya yang memanggilnya.

“Kenapa, Sel?” tanya Elisa mengangkat telepon itu.

“Kamu di mana?” Balas sahabatnya dengan nada panik.

“Aku dijalan bareng Anisha mau ke kampus. Memang kenapa kamu kayak orang panikan gitu?”

“Astaga naga! Mending kamu putar balik gak usah ke sini. Sembunyiin Anisha, El!” jawaban itu jelas membuatnya bingung.

“Apa sih kamu ngomong yang jelas dong,” Kesal Elisa.

“Cepat kamu buka berita terbaru di internet, aku kaget sekaligus gak percaya sumpah.” ucapnya yang kemudian telepon itu terputus.

“Eh Sel halo? Woi! Astaga....”

“Memangnya ada berita apa, Lis?” Anisha yang mendengar percakapan itu ikut dibuat panik.

“Entahlah...”

Bukannya mendengar nasihat sahabatnya, kedua gadis itu tetap berangkat ke kampus. Setelah melewati gerbang dan taman, sampailah mereka di gedung utama.

Kenapa firasat ku gak enak, ya? Kok orang-orang ngeliatin aku gitu banget? Aku punya salah apa?

Tak hanya Anisha yang menyadari hal itu, Elisa juga merasakan tatapan sinis dan dingin dari mahasiswa di sana.

“Ternyata bener ya berita itu kalau Anisha hamil?”

“Iya. Lebih kagetnya lagi yang hamilin dia Delfano,”

“What? Delfano anak keluarga terpandang itu? Arsyanendra?”

“Iya coba cek berita, ada buktinya tau.”

“Gak nyangka ya jangan-jangan dia yang menggoda Delfano biar ngelakuin itu. Ih najis banget tuh cewek, busuk!”

Samar-samar Anisha mendengar percakapan itu dari orang-orang di sekitarnya. Walaupun kenyataannya benar, ia tetap mengabaikannya dan fokus berjalan menuju kelas.

“Jangan di dengarkan, Nis. Tenang ada aku." ucap Elisa mengenggam tangan kirinya.

Ketika akan pergi menuju gedung 56 seseorang memanggilnya dengan suara lantang.

“ANISHAAAAA!!”

Terlihat jelas raut wajah marah gadis itu. Dengan langkah yang besar, gadis berambut panjang dengan bando di kepalanya berhenti di depan Anisha.

Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba gadis itu menampar pipi kiri Anisha. Elisa yang melihatnya dibuat marah dengan sikap gadis itu.

“Heh Vita! Kamu gila nampar temanmu sendiri? Datang-datang langsung nampar gak jelas.” ucap Elisa amarahnya meluap.

“Gila kamu bilang? Nih sahabatmu yang lebih gila! Aku tidak habis pikir kamu benaran hamil dan yang bikin syok nya lagi, Delfano yang melakukan itu?” Timpal Vita penuh amarah.

“Vita aku–”

“Aku kira kamu cewek alim baik sholehah, ternyata kamu begini, ya. Kamu sengaja kan menggoda Delfano agar kamu bisa masuk ke keluarganya yang kaya sedangkan kamu cuma cewek miskin! Hm?”

“Astagfirullahalazim, Vita, aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Berita itu palsu!” Anisha mencoba meyakinkan.

“Palsu kamu bilang? CEK DI PONSEL KAMU SEKARANG! Berita itu sudah menyebar luas dan sedihnya lagi kenapa harus ada nama Universitas ini di berita itu. Kamu sudah buat hancur nama baik kampus ini, Nis! Pikir!”

Mendengar itu, Anisha segera membuka ponsel dan melihat berita yang dimaksud. Benar saja artikel yang tertulis menyangkut namanya dan kampusnya terlebih lagi ada foto dirinya bersama seorang laki-laki.

Ini kan saat di ruangan kesehatan kemarin, siapa yang berani memotretnya? Dan foto ini saat di atap gedung. Kenapa bisa?

Berita itu menuliskan....

“Seorang Mahasiswi berinisial A yang pernah menjuarai MTQ dari Universitas *** dikabarkan hamil diluar nikah dan laki-laki yang bertanggung jawab atas kehamilan itu adalah anak sulung keluarga Arsyanendra. Ini salah satu foto mereka....”

Pedih sekali seakan ada benda tajam yang menyayat hatinya. Karena di kampusnya yang menjuarai MTQ berinisial A hanya dirinya bukan siapa-siapa lagi. Ditambah foto itu adalah dirinya sendiri dengan Delfano, walaupun tidak terlihat jelas wajahnya.

“Aku kecewa sama kamu, Nis. Sakit hati aku. Padahal kamu mondok di pesantren, kamu gak malu atas perbuatanmu?” tanya Vita membuat mata Anisha berkaca-kaca.

Dari arah belakang Vita, teman-teman yang lain datang dengan wajah penuh kekecewaan dan marah pada Anisha.

“Heh Vita, berita itu ngarang! Kalau kamu tidak tau masalahnya tidak usah ikut campur deh. Kam–”

“Ini gak bisa dibiarin. Aku bakal lapor ke pihak kampus! Perempuan seperti mu tidak pantas belajar di sisni. Kamu tau? Secara tidak langsung kamu sudah menjatuhkan nama baik keluarga Arsyanendra! Harapan mu tidak akan tercapai masuk ke keluarga itu.” ucapnya kemudian pergi begitu saja.

“MIMPI SANA!!” Karin menambahkan.

Bendungan itu tak bisa ditahan lagi, air matanya benar-benar mengalir deras mendengar ucapan yang menusuk hatinya.

“Nis, kenapa kamu tidak lawan ucapan mereka? Kamu seharusnya bisa meyakinkan mereka berita itu tidak bener. Ayolah Nis tegas sedikit.” kata Elisa menggenggam kedua tangan sahabatnya.

“Percuma Elisa. Berita itu fakta, aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Tapi, aku sama sekali tidak mengharapkan masuk ke keluarga Fano. Benar kata Fathan, cepat atau lambat rahasia ini akan terbongkar dan aku harus siap konsekuensinya.” Jawab Anisha mengelap air matanya.

“Gak, gak bisa. kamu harus bertahan, kamu harus tetap di sini! Aku akan bantu kamu, aku janji.” Ucapnya sungguh-sungguh.

“Sudah Elisa, Terima kasih. Kamu sudah cukup banyak membantuku. Kalau memang nanti aku dikeluarkan dari kampus, mungkin itu sudah jalanku. Maaf ya aku pergi dulu, aku ingin sendiri.” Anisha melepaskan genggaman itu lalu pergi meninggalkan Elisa.

“Nis, Nisha! Akkhh sial! Kenapa jadi gini? Aku kejar saja lah, takut dia kenapa-napa.”


***


Meja itu dipukul begitu keras. Dengan tatapan tak percaya, ketujuh laki-laki itu melihat sahabatnya yang tengah kebingungan.

“Fan, berita itu udah merembet ke mana-mana. Secara keluarga lo sangat terpandang dan terkenal juga, gua takut berita itu masuk televisi.” ucap Gading berdiri dari tempat duduknya.

“Kok bisa sih? Itu beneran fakta lo hamilin santriwati itu?” tanya Alga yang tidak tau apa-apa tentang kejadian itu.

Pada akhirnya Delfano menjelaskan yang sebenarnya kepada teman-temannya karena selain Awang, gading dan Theo teman-teman yang lain belum mengetahuinya.

“Jadi gara-gara minuman yang kita tawarin ke lo? Kok bisa sih sampai gitu? Makanya jangan langsung pulang mending ke basecamp.” kata Jay.

“Lo gak tau apa yang gua rasain waktu itu. Lo pikir enteng jalan ke basecamp?” balas Fano.

“Tapi yang gue khawatirin lagi adalah Anisha. Secarakan dia hanya cewek polos tiba-tiba ada berita ini pasti orang-orang pikir dia yang jadi penyebabnya bukan korbannya.” Tebak Theo diangguki teman-teman yang lain.

“Iya juga ya, mana sohib kita populer di kampus. Makanya Fan, jadi kayak gue gak jelek dan gak ganteng, standar.” ucap Han mencoba menghibur.

“Mending lo temui Anisha, gua yakin dia lagi nangis gara-gara ini.” Saran Awang.

Apa yang dikhawatirkan Gading benar-benar terjadi. Berita itu sudah menyebar luas ke sosial media mana pun dan malah diangkat ke siaran televisi bahkan sampai ada beberapa wartawan yang nekat ke rumah keluarga Arsyanendra untuk dimintai penjelasan.

Mungkin sebagian orang menganggap hal ini sudah biasa di kalangan orang-orang terkenal tapi ini berbeda karena sudah menyangkut nama Universitas dan nama pesantren yang pernah ditinggali Anisha. Ya walaupun pihak pesantren belum mengetahui jelas siapa sosok gadis yang dimaksud.

“Abi, siapa ya gadis itu? Katanya pernah mondok di sini. Tidak mungkin sepupu kita, kan?” tanya Umi.

“Semoga bukan. Apa Abi harus ke sana karena ini sudah menyangkut nama pesantren Nurul Iman?” ucap Abi.

***


Sedangkan di posisi Anisha, gadis itu tengah menyendiri di taman belakang kampus yang jarang dilalui orang-orang. Elisa yang dari tadi mengikutinya kemudian mendekat dan menenangkan sahabatnya itu.

“Sabar, Nis. Aku yakin sebentar lagi berita itu akan padam. Aku tidak percaya kalau sampai Delfano tidak berbuat apa-apa setelah mendengar berita ini.” kata Elisa.

“Tapi, berita itu sudah masuk televisi, Elisa! Kamu tidak dengar dari ucapan orang-orang tadi? Mereka semua mencibir dan menghinaku. Hatiku sakit Lis.” Balas Anisha sesak.

“Hei Nisha... Inget kata dokter semalam, kamu jangan terlalu larut dalam kesedihan.” ucap Elisa mengingatkan.

“Tapi... Baiklah.” jawabnya tersenyum.

Tiba-tiba Delfano datang berlari menghampiri mereka. Entah ingin bahagia atau sedih melihat wajah laki-laki itu, Anisha hanya bisa menitihkan air matanya melihat sosok laki-laki yang membuatnya tenang ketika bersamanya.

“Anisha, maaf. Maafkan aku.” ucap Fano penuh penyesalan. Entah sudah keberapa kalinya laki-laki itu mengucapkan kata maaf.

“Eh bentar kok kamu tau kita di sini?” tanya Elisa heran.

“Itu... Alah gak penting, aku mau kasih tau bahwa....” Lelaki itu mulai mengatakan rencananya.

Tak lama kemudian suara seseorang membuat Delfano memilih pergi bersembunyi. Siapa orang itu? Ya jelas siapa lagi kalau bukan Vita dengan teman-temannya.

“Eh Anisha, kamu dipanggil Bu Eti ke ruangannya sekarang.” ucap Vita.

“Untuk apa?” tanya Anisha heran.

“Udah sih tinggal ikut aja.” Jawab Karin menarik tangan Anisha.

Dalam Dekapan Luka Where stories live. Discover now