2

989 106 7
                                    

Entah bagaimana memulainya. Pertemuan pertama mereka diawali dengan kesan yang buruk. Dia yang memiliki wajah tampan, namun sangat menyebalkan.

Yang seharusnya Jenggala dapat melawan, malah diam mati kutu tak dapat berkutik. Hanya karena omong kosong orang itu dan pikirannya yang tak pernah beres.

Memunggungi tempat duduk Magma saat berada di dalam ruang guru. Sempat terlihat jelas dari ekor mata Jenggala, dimana pemakan manusia itu duduk santai, menyandarkan punggungnya di kursi, melipat tangan di depan dada dengan lengan kemeja yang tergulung sampai siku.

Pria paruh baya yang tambun menatap Jenggala. Siap mengeluarkan segala wejangan atas kelakuan diluar nalar anak murid dari sekolahnya itu.

Kepala sekolah bernama Pak Asep memperbaiki letak kacamatanya. Berdehem pelan beberapa kali dan menjilati bibirnya yang kering bak gunung tandus.

"Jenggala Naratama?" panggil Pak Asep.

"Siap, Pak," jawab Jenggala. Sambil memamerkan deretan giginya yang rapih.

"Saya mendapatkan laporan dari beberapa guru tentang tingkah laku kamu selama ini. Mereka mulai lelah dan ingin melepas tanggung jawab," kata Pak Asep. Membuka topik pembicaraan mereka.

Satu tarikan napas. Pak Asep kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda. "Sejujurnya, kami telah sepakat akan mengeluarkan kamu dari sekolah ini—" Dengan berat hati Pak Asep mengatakannya.

Bukannya merasa sedih, terkejut, atau takut. Jenggala malah kegirangan atas perkataan Pak Asep barusan.

"Beneran, Pak?!" Jenggala menyentak meja di depannya.

Tubuhnya maju, mendekati Pak Asep. "Saya akan dikeluarkan dari sekolah?!" tanya Jenggala memastikan. Matanya berbinar, menunggu jawaban pasti dari mulut berbau naga Pak Asep.

Dengan mata membulat kaget, wajahnya memerah karena shock. Pak Asep mendorong kedua bahu Jenggala dan meminta anak itu untuk duduk kembali ke kursinya.

"Duduk dulu, saya hampir jantungan mendengar suara kamu," tegur Pak Asep.

Keajaiban yang luar biasa. Jenggala hampir tak percaya bahwa dia akan segera angkat kaki dari sekolah. Impian terindah dari awal pertama menginjakkan kaki di sekolah itu.

Ayah Jenggala pemilik yayasan sekolah. Jenggala selalu berusaha membuat onar, agar kepala sekolah dan guru-guru merasa muak dan segera mengusirnya. Namun, nyatanya tak semudah itu.

"Tidak, Jenggala. Pak Naratama meminta kami untuk lebih keras lagi dalam membimbing kamu," jelas Pak Asep. Yang artinya, impian itu lenyap seketika.

Jenggala menghembuskan napas berat. Bahunya merosot turun, karena terlalu kecewa. Dia langsung menyandarkan tubuhnya pada  sandaran kursi yang membuatnya hampir terus merosot sampai bawah.

"Berhubung, tidak ada lagi guru lama yang bersedia membimbing kamu. Kami semua sepakat, menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada Pak Magma Sangkakala." Pak Asep mengakhiri kalimatnya.

Duar!

Bak disambar petir siang bolong. Jenggala terdiam mematung. Dia tak salah dengar, tadi kepala sekolah tambun mengatakan nama guru pemakan manusia itu.

Jenggala menggeleng pelan. Yang tadinya terlihat paling berani, kini menciut ketakutan. Tangannya bertautan di atas meja, memohon pertolongan kepada orang-orang yang ada di sana.

"Jangan, Pak. Saya nggak mau!" mohon Jenggala tiba-tiba.

Menarik tangan Pak Asep, menggenggamnya erat. "Saya nggak mau dibimbing sama dia, Pak!" mohonnya sekali lagi.

MaJe (Magma and Jenggala) ENDWhere stories live. Discover now