8

744 90 15
                                    

Mengobati luka di wajah Jenggala dengan hati-hati. Terkadang, anak itu meringis kecil, menahan tangan Magma saat mulai merasa kesakitan.

Sama sekali Magma tidak mengeluarkan sepatah katapun setelahnya, terlihat masih marah besar terhadap kelakuan Jenggala sebagai anak muridnya.

"Bagaimana cara menjelaskannya kepada Tuan Naratama?" tanya Magma. Menatap tajam ke arah Jenggala yang mengalihkan pandangannya.

"A-ayah—ayah gue udah sering lihat gue kek gini," jawab Jenggala.

Ayahnya terbiasa melihat kenakalannya. Saat Jenggala pulang dengan luka pukulan di wajah, ayahnya akan mulai mengomel dan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya.

"Lalu?!" Magma menjatuhkan kain kasa ke atas meja, atau lebih membantingnya kasar.

Pria itu memegang kedua pundak Jenggala, meremasnya kuat tanpa sadar.

"Jenggala, kamu itu tanggung jawab saya sekarang!" bentak Magma marah.

"Apa yang akan orang-orang pikirkan, melihat kamu masih membuat ulah. Bahkan, setelah kamu menjadi anak didik saya!" sambungannya kemudian.

Kedua pundak Jenggala terasa keram, terguncang hebat saat Magma mengguncangnya kuat. Ini pertama kali Jenggala terdiam seribu bahasa, matanya tak bisa terdiam tetap untuk menatap balik mata Magma. Dia gugup dan ketakutan.

Jenggala menepis tangan dari pundaknya. Anak itu membalikkan tubuhnya, dia membelakangi Magma. Meremas tempat sisi sofa dengan kedua tangannya, hingga buku tangan itu memutih. Hatinya terasa sangat sakit dan perih, dibentak seperti itu ternyata sangat menyakitkan.

"Awas aja, gue aduin lo ke emak gue..." lirih Jenggala pelan.

"Berani-beraninya bentak gue." Jenggala benar-benar merasa sedih dan marah.

Mengigit kuat bibir bawahnya. Seharusnya, Jenggala melawan sekarang, memukul wajah Magma tanpa ampun. Tetapi, itu akan menjadi angan-angannya saja, karena semua orang akan memihak kepada Magma.

Dibalik itu, Magma yang masih setia dibelakang Jenggala, terus memperhatikan anak itu. Mendengar semua ucapannya yang ditekan penuh emosi. Mengusap kasar wajahnya dan menghembuskan napas berat. Magma mencoba mengatur emosinya. Sebab, dia tau Jenggala bukan anak yang bisa dihadapi dengan kekerasan.

"Berbalik," pinta Magma. Mulai melemah.

Bukannya menuruti, Jenggala malah membuat gestur tubuh menolak.

"Berbalik, Jenggala," pintanya sekali lagi.

"Gue nggak mau!" tolak Jenggala. Melipat tangannya di depan dada. Tetap kekeuh, mempertahankan egonya.

Mengambil kertas yang terletak di atas meja tadi. Menyodorkan secara paksa pada anak itu, sempat membuangnya ke bawah, namun dengan kekeuh juga Magma memberikan kertas itu pada Jenggala.

Jenggala menatap secarik kertas itu. Kertas yang bertuliskan jadwal untuk pertemuan selanjut mereka.

"Mulai besok. Kita akan fokus pada tujuan awal, saya akan mengajar kamu diluar dari jam pelajaran sekolah. Sebagai, guru privat dan murid," jelas Magma. Berbicara tepat ditelinga Jenggala.

Rasanya sedikit aneh. Saat Jenggala mendengar kata guru dan murid, tapi dia belum bisa merasakan dengan pasti dimana letak permasalahannya.

Perlahan, tangan yang melingkar pada perut Jenggala terlepas. Magma menjauhkan dirinya, tetapi masih memantau Jenggala dengan matanya.

"Okey!" Tiba-tiba, Jenggala berdiri dengan angkuh, mengangkat kepalanya dan berjalan menuju Magma.

Melemparkan kertas itu ke dada bidang Magma, Jenggala meninggalkan ruangan tanpa mengatakan sepatah katapun.

MaJe (Magma and Jenggala) ENDWhere stories live. Discover now