9

793 85 17
                                    

Menyesali perasaannya sendiri. Jenggal seharusnya membenci Magma, bukannya malah jatuh hati. Seorang seperti Magma sungguh tak dapat ditebak, pikiran, sifat, terlebih hatinya.

Perasaan memang tak dapat dipaksakan. Akan tetapi, masih menjadi pertanyaan, mengapa perasaan Jenggala malah jatuh pada orang yang tak tepat?

Mereka sejenis, tak sehati, dan saling bertolak belakang dalam kepribadian.

Tapi, bukan Jenggala namanya, jika terus berdiam diri memendam semua yang dia rasa. Tak ada salahnya mencoba 'kan?

Benar kata Bundanya, dia harus bertanya lebih dulu.

Karena sangat pagi Jenggala datang, belum banyak murid yang memunculkan batang hidungnya di area sekolah.

Ditangan Jenggala terdapat kopi cup dan sandwich, dia berniat memberikannya kepada Magma. Mungkin, sarapan bersama bisa menjadi sarana untuk saling berbicara. Setidaknya, agar mereka tak saling bermusuhan setelah semua yang terjadi.

Tanpa izin, Jenggal masuk keruangan Magma. Ruangan itu kosong, tapi tak terkunci, itu tandanya Magma sudah datang. Lalu dimana pria itu?

Sambil meneliti ruangan, Jenggala menyimpan kopi cup dan sandwich di atas meja begitu saja.

Banyak tumpukan dokumen, tak sengaja saat ingin menarik map cokelat di atas meja, tangan Jenggala menyenggol cup kopi itu. Semuanya tumpah, membuat meja dan barang-barang di atasnya menjadi cokelat pekat karena kopi.

"Alamakkk!" panik Jenggala.

"Mati gue!" Dalam keadaan panik, tak ada lap ataupun kain yang bisa digunakan untuk membersihkan kekacauan itu.

Kecuali, Jenggala melihat ada syal biru muda tergantung dipojok ruangan. Buru-buru dia mengambil syal itu, menggunakan sebagai pengganti kain lap.

Hampir beres, kertas yang masih bisa diselamatkan Jenggala singkirkan segera. Namun, sebelum melanjutkan pekerjaannya, tangan Jenggala ditahan lebih dulu.

"Apa yang kamu lakukan?!" Tajam, terdengar menakutkan dan sangat kasar. Magma menggenggam pergelangan tangan Jenggala kuat.

"Oh, Pak Magma? Ini, gue-saya nggak sengaja—" Jenggala menjelaskannya, seolah tak terjadi apa-apa dan berekspresi seperti biasa mereka bertemu, hanya mengubah cara bicaranya, agar terdengar lebih sopan.

"Saya bilang apa yang kamu lakukan?!!" bentak Magma tiba-tiba.

Tentu saja itu membuat Jenggala terlonjak kaget. Dia tak sengaja, lalu harus apa dia sekarang?

"Saya nggak sengaja." Kembali Jenggala membela diri. Walau sebenarnya, pergelangan tangannya terasa nyeri.

"Berani sekali kamu menyentuh barang pribadi saya!" Terlihat Magma begitu marah, matanya memerah, hingga urat di wajah dan lehernya terlihat. Itu sangat menakutkan.

Jenggala menghembus napas panjang. Ketika dia mencoba menjadi baik, orang itu malah tak baik padanya.

Matanya berembun. Dua kali Jenggala mendapat bentakan kasar, dengan orang yang sama.

"Lo anjing!" balas Jenggala membentak.

Terlalu lelah dengan semuanya. Bayangkan saja, anak laki-laki yang selalu melawan dan tak ingin terlihat baik di depan orang lain, dengan berani memutus urat malunya untuk mencoba berubah demi mendapatkan perhatian. Namun, semua yang dia lakukan ternyata sia-sia, sia-sia di mata pria itu.

Menatap nyalang meja di sampingnya. Masih ada kopi yang belum tumpah. Lalu, dengan sengaja Jenggala menendang kaki meja itu, membuat guncangan hebat hingga segelas kopi lainnya menyusul menumpahkan isinya.

MaJe (Magma and Jenggala) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang