01. Pohon dan Jendra

384 41 2
                                    


Laras memijat pelipisnya, pening. Ia memutuskan untuk mengistirahatkan otot-otot nya yang tegang selepas terlalu lama larut dalam pekerjaannya. Matanya terlalu lelah untuk melihat layar monitor lebih lama lagi. Selang beberapa menit, atensi Laras tertuju pada layar ponsel yang semenjak tadi mengeluarkan suara yang sama secara berturut-turut. Dirinya geming, setelah irisnya menangkap sesuatu disana.

Laras menangkap sesuatu ketika mendapati notifikasi whatsapp muncul dengan nama yang entah siapa pengirimnya. Namun, saat iris nya menangkap nama sang mendiang suami, tubuh Laras membeku untuk beberapa saat. Tanpa ditanya pun, Laras sudah tau siapa pelakunya. Tentu saja Jendra pelakunya, anak semata wayang Laras. Melihat perlakuan Jendra yang seperti itu membuat Laras tak habis pikir. Lancang sekali anaknya mengubah nama kontak nenek sendiri tanpa seizin dirinya.

Segera Laras membuka pesan yang muncul dari notifikasi ponselnya, Laras tak memilih untuk berdiam diri terhanyut dengan emosi yang menggunung, ia memutuskan untuk melampiaskan rasa amarahnya ketika di rumah, bertemu dengan sang pelaku, begitu pikirnya.

"Laras, lihat anak kamu. Mama dapat foto ini sebagai laporan dari guru. Katanya lagi-lagi dia bolos jam pelajaran demi ngobrol sama pohon, anakmu sakit jiwa ya?"

Sial, tuturnya. Sang empu menggertakan gigi, rahangnya mengeras saking kelewat kesal. Bagaimana bisa anaknya bertingkah laku seperti itu? Memalukan sekali, sampai mama mertuanya itu pun tahu.

"Itu anak Nevan lho ma? cucu mama. Masa cucu sendiri dikatain gila?"

Bukannya hilang, rasa penat Laras kian bertambah, pusing dibuatnya. Jemarinya ia tekan kuat-kuat pada layar ponsel saat mengetikkan pesan pada mama mertuanya itu. Tak lama, suara notifikasi yang Laras tunggu kedatangannya membuat bola matanya terasa nyaris ingin keluar. Alun-alun pesan itu kembali ia baca, membuat tekanan darahnya mendadak naik drastis.

"Ya coba kamu pikirkan saja Laras. Orang waras mana yang mau ngobrol sama pohon? Jendra begitu pasti kamu yang ajarin, kan?"

Lagi-lagi salah dirinya. Diana, mama mertuanya itu selalu menyudutkan dan menyebut-nyebut namanya disaat situasi seperti ini. Tak terelakkan, ia melempar barang apapun yang ada di meja kerja miliknya ke sembarang arah. Laras berteriak frustasi. "Sialan!!"

Tepat pukul setengah sepuluh malam, air hujan menghujam tanah semakin deras. Angin terasa semakin dingin menusuk ke pori-pori kulit. Langit kian redup, suara erangan petir yang membentur menerkam rasa takut Jendra yang masih sibuk menggeluti buku-buku tebalnya, mama memberikan hukuman untuk dirinya sebab insiden mengobrol dengan pohon itu. Karenanya juga ia harus bertengkar kembali dengan mama mertuanya tersebut.

Karena hal itu, Jendra dilarang sering membaca buku dongeng karena sering berkhayal yang tak masuk akal, begitu kata Laras. Padahal Jendra sangat suka sekali membaca buku-buku dongeng ketimbang buku pengetahuan. Alun-alun, kantuk mulai menyerang bocah yang baru menginjak umur sepuluh tahun itu. Namun, ketika suara derap langkah kaki menghampiri kamarnya, dengan cepat ia memukul pipi nya sendiri cukup keras,  supaya rasa kantuknya pergi dan konsentrasi nya terkumpul kembali. Sesuai dugaan, Laras datang. Jendra mencoba bersikap tenang ketika dirinya menangkap sosok mama tepat ada dihadapannya sekarang.

Selepas dijemput siang tadi, mama hanya mengomeli Jendra hanya beberapa saat. Laras sudah tak ada waktu lagi untuk marah, membuang banyak energi sebab pekerjaan kantor yang sudah memasuki tenggat waktu deadline memotong waktunya untuk meluapkan segala rasa amarah yang telah memuncak. Begitu setelahnya, Jendra diantar hingga selamat sampai ke pekarangan rumah, sang empu lalu menancapkan gas untuk pergi kembali ke kantor.

Jendra mendongak, manik nya sedikit bergetar menatap sang mama. "Ma, belum tidur?" Tanya Jendra tersenyum teduh, menyuguhkan senyuman khas gummy smile nya.

Selamat tidur, anak mama.Where stories live. Discover now