02. Cello

244 39 0
                                    

Laras lagi-lagi berdecak sebal saat ponselnya berbunyi, sesaat raut mukanya berubah menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Sebab, panggilan itu bukanlah berasal dari Diana, mama mertuanya. Tangan Laras bergerak meraih layar ponsel dan mengetuk tombol untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Ya, halo? Dengan siapa?" Begitu kata Laras, yang tak kunjung belum ada jawaban di sebrang sana.

Sontak alis Laras bertaut, ia mengira itu hanyalah panggilan iseng. Saat dirinya hendak mematikan panggilan tersebut, lantas sang penelepon bergegas angkat suara.

"Selamat siang bu, maaf mengganggu waktunya. Apakah betul ini dengan ibu Laras selaku orangtua murid Danaka?"

Suara itu terdengar lebih gugup, ada rasa ketidaknyamanan dari sebrang sana. Lagi-lagi Laras menekuk wajahnya, bingung. Ini bukan suara biasa yang ia dengar, suara bu Astrid wali kelas Jendra.

Laras menghela napas lelah, "Iya betul. Ini dengan siapa ya? Anak saya ada buat masalah lagi?"

"Tidak, bu. Perkenalkan, nama saya Aeera Kaidiningrum. Wali kelas baru Danaka."

Mendengar hal itu, Laras justru jauh lebih bingung. Kenapa bisa tiba-tiba diganti?

"Lho, bukannya masih sama bu Astrid ya? Kok tiba-tiba saja diganti?"

"Bu Astrid sudah dipindah tugaskan dari bulan lalu, bu. Memangnya Danaka belum memberikan informasi ini secara langsung kepada ibu ya?"

"Oh begitu. Danaka tidak ada bicara apa-apa pada saya, kalau begitu, ada keperluan apa menghubungi saya? Ulah apa lagi yang sudah anak itu perbuat?"

Aeera, wali kelas baru Jendra itu tampak ragu. Ia geming beberapa saat sebelum Laras mendorong nya untuk berbicara kembali.

"Bu saya mohon meminta maaf sebesar-besarnya atas kelalaian saya sebagai wali kelasnya Danaka, siang tadi saat jam istirahat pergelangan tangan kiri nya patah sebab bertengkar dengan teman kelasnya, Elios."

Jawaban di sebrang sana membuat Laras geming, membeku di tempat. Lagi-lagi anak itu membuat ulah yang jelas menyulut emosi Laras kembali memuncak.

Aeera melanjutkan kembali walaupun ia ragu, sebab ia pasti mengira akan dimarahi habis-habisan oleh orangtua muridnya itu.

"Kalau berkenan, bisakah ibu hadir ke sekolah sekarang? Saya juga sudah memanggil orangtuanya Elios untuk meminta keterangan."

"Gak, saya sibuk. Biarkan saja, ibu tidak usah manjakan Danaka. Biar dia obati sendiri."

Jawaban Laras membuat Aeera diam. Ia tak biasa dengan reaksi orangtua yang seperti ini. Dirinya sontak mengerjap, dan berusaha meyakinkan Laras berulang kali.

"Bu.. masalahnya tangan kiri Danaka cedera, Danaka sudah tidak bisa menulis lagi sekarang. Jadi sepertinya dia butuh istirahat di rumah, apalagi dia kelihatan shock dan menangis terus."

"Ya memangnya kenapa? Cuma tangan kirinya saja yang cedera kan? Terus gunanya tangan kanan dia untuk apa? Biar dia belajar kuat, gak gampang cengeng. Jangan sampai cedera tangannya itu jadi alasan dia tidak mengikuti pembelajaran."

Sekali lagi, jantung Aeera mencelos. Reaksi Laras membuatnya bingung kelimpungan. Apakah benar Laras itu orangtua dari anak muridnya itu? Bagaimana bisa ia melupakan sesuatu yang bahkan Aeera anggap sendiri hal itu sangatlah penting?

Aeera melemahkan suara, "Sepertinya ibu lupa akan sesuatu, saya harap ibu segera menyadari nya. Dan juga, kalau ibu tidak bisa menjemput Danaka untuk pulang, biar saya yang bertanggung jawab untuk mengantarnya pulang."

Selamat tidur, anak mama.Where stories live. Discover now