10 . Empat Mata

591 104 4
                                    

Taman lengang sejenak. Hanni melepas paksa pelukan itu, matanya menatap intens Minji di hadapannya, meminta penjelasan. Hanni tidak mengerti apa yang Minji bicarakan barusan.

Minji balas menatapnya bingung. "Apa?" Tanyanya, Minji hanya tersenyum menanggapi reaksi Hanni.

Hanni mengambil kembali bukunya di tangan Minji, mulai menulisinya. Selesai, ia memperlihatkan tulisannya kepada Miniji. "Maksudnya?"

"Apanya yang maksudnya?"

"Kamu bilang akan pergi ke tempat yang indah dan tidak akan membiarkan orang tua mu menemukanmu disini tahun depan, maksudnya apa?" Hanni menulis cepat, tangannya lihai memegang pena.

"Ah itu. Bukan apa-apa, sih, cuma terikat janji aja sama Mama. Bukan masalah serius. Pokoknya janji. Jangan dipikirin, ya," Jawab Minji seadanya.

Namun Hanni tetap Hanni, buktinya gadis itu malah memberikan tatapan tajam yang dingin kepada Minji. Minji memukul pelan lengan Hanni, mengusir ketegangan di antara mereka—sebenarnya cuma dia.

Minji merasa tidak enak pada Hanni, terlebih lagi jika balas menatap tatapan mata Hanni yang jelas tidak bisa disembunyikan kebingungannya. Ucapan Minji tadi ia anggap serius, padahal Minji berharap Hanni tidak akan merespon.

Rasa bersalahnya semakin membesar ketika beberapa menit lalu, Minji juga malah terikat perjanjian dengan Hanni bahwa mereka akan bersama-sama terus. Janji yang bertentangan dengan Mama-nya, bahwa dia akan pergi secepat mungkin sebelum Mama menemukannya di tempat ini lagi.

Minji merutuki dirinya sendiri, mengapa ia harus berjanji sana-sini padahal dirinya cuma ada satu, tidak cukup membelah diri untuk semua janji-janjinya. Ia juga kesal dengan dirinya, kenapa sesulit itu mengontrol diri sendiri agar tidak bicara yang aneh-aneh.

"Hanni, jangan natep gue kayak gitu." Minji menolehkan kepala Hanni ke tempat lain, tapi tetap saja tujuan Hanni hanya dirinya, membuat Minji menghela nafas berkali-kali.

"Gue bingung, Han, gue merasa gue capek banget sama semuanya, tapi kadangkali gue merasa gue bahagia nungguin Mama pulang datang kesini nemuin gue dan pada saat itu dia bakal bilang kalau gue ini anaknya. Tapi satu lagi, diri gue bilang sama diri gue juga, kalau Mama tuh nggak akan pernah sayang sama gue. Capeknya kerasa banget pokoknya, Han, kadang gue bisa netral, kadang gue bisa berpihak sana-sini." Urai Minji menunduk dalam, ia menyandarkan punggungnya di kursi taman.

Lagi, jika Minji mulai bercerita, Hanni menatapnya prihatin. Sejujurnya ia tahu rasa lelah yang dirasakan Minji, tapi jujur saja, keputusannya itu buruk sekali. Meskipun orang tuanya tidak peduli, setidaknya balas tidak peduli. Walaupun terkesan tidak sopan, tapi itu kan yang dimau oleh orang tuanya? Tapi jangan bunuh diri. Hanni menghela nafas pelan, apalagi yang dimaksud Minji tentang pergi jauh selain dua kata yang baru saja terlintas di otaknya itu?

Hening. Lagi, taman berskala besar yang tengah dihuni oleh Minji dan Hanni itu lagi-lagi lengang. Mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sampai suara dari Minji memecah keheningan yang menyelimuti.

"Han, izinin gue, ya? Buat nepatin janji sama Mama gue. Kalau gue males sama dia di dunia karena dia selalu nyakitin gue, otomatis gue juga males berbakti sama dia layaknya anak yang punya etika ke orang tua, jadi tolong izinin gue nepatin janji sama Mama gue, pergi sebelum dia kembali dari luar negeri buat jenguk gue kesini." Ucap Minji tiba-tiba, ia menoleh pelan kearah Hanni yang terlihat kaget.

Sudah ia duga, respon Hanni berkebalikan dengannya. Hanni menggeleng kuat-kuat, menentang keputusan Minji.

"Hanni, cuma itu satu-satunya cara terakhir gue bisa berbakti baik-baik sama Mama. Tepatin janjinya." Minji memandang sendu wajah Hanni.

El Mismo ; New JeansWhere stories live. Discover now