✧ 11 ✧ Dua Pilihan

76 5 1
                                    

✧ H E L E N A ✧

11. DUA PILIHAN

Helena siap dengan dandanannya menuju sekolah. Helm sudah melekat di kepala, begitu juga jaket dan ransel di tubuhnya. Rapi dan cantik, ia memang selalu menjadi perhatian tanpa perlu menjadi caper.

Memasukkan kunci motor ke tempatnya, Helena segera menekan starter. Tidak terburu-buru, karena jam masih menunjukkan waktu yang cukup pagi. Dipastikan kalau Helena tidak akan telat, kecuali kalau ia jalan kaki ke sekolah.

Namun, belum sempat ia menarik gas, aktivitasnya dihentikan oleh seorang wanita yang ia panggil Mama.

"Stop! Stop! Mama boleh pinjem motornya nggak?" tanya Arana.

Helena menghela napas sambil tersenyum bersahaja. "Kenapa nggak dari tadi, Ma ...?

"Mama pinjem motornya buat hari ini, ntar kamu dianter jemput," ujar Arana. "Hari ini kan ada arisan di rumah, Mama ntar belanja agak banyak. Males naik ojol, apalagi angkot. Terus nanti juga pasti bolak-balik belanja kan, semisal ada yang kurang."

"Ya udah, tapi anterin yaa? Ogah aku kalo naik bus," pinta Helena. Ia memang tidak cocok naik bus, bisa mual. Apalagi kalau bus-nya ngebut.

"Iyaa, kan Papa juga udah berangkat. Mama yang anterin ini," balas Arana.

Tanpa basa-basi lagi, Arana memakai helm miliknya dan mengantarkan Helena—putri satu-satunya ke sekolah. Bakat kebut-kebutan Arana masih ada, tapi ia memilih untuk menyetir dengan santai. Ia menikmati sepanjang perjalanan mengobrol dengan Helena.

"Maa, tau nggak?" tanya Helena dengan suara yang sedang, tidak keras tapi tidak pelan juga. "Di kelas aku ada yang namanya Wahyu, kasian banget dia."

"Hah? Kenapa kasiann?" tanya Arana dengan pandangan tetap mengarah ke jalan raya.

"Dia kalo nembak cewek pasti ditolak terus," jawab Helena.

"Kenapa?"

"Katanya cewek-cewek itu takut dikira nabi karena nerima Wahyu."

Tawa Arana pecah. Begitu pun juga Helena. Mereka berdua sama sekali tak peduli dengan tatapan heran orang-orang, pokoknya ... yang penting mereka nyaman.

"Berarti cowok yang namanya Rizki enak dong," ujar Arana dengan sisa-sisa tawanya.

"Hah? Kenapa?"

"Kalo nembak cewek, pasti diterima. Kan rizki nggak boleh ditolak," jawabnya.

Tawa kembali pecah, sepanjang perjalanan diisi dengan percakapan yang receh. Yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja, atau malah garing, tapi bagi mereka itu sangat lucu.

Humor yang rendah dan sefrekuensi.

Sesampainya di sekolah, Helena mencium punggung tangan Mamanya. Motor yang mereka tunggangi berhenti di samping gerbang sekolah.

"Maaf ya, Ma. Nanti aku nggak bantuin nyiapin arisan," ucap Helena.

"Nggak papa, nanti Mama minta tolong Mbak Narsih juga kok," balas Arana. Ia menyebut nama wanita yang biasa membantunya mengurus rumah—bersih-bersih dan ketika ada acara seperti ini.

"Tapi nanti jemput loh," ujar Helena dengan wajah serius. "Aku beneran nggak suka kalo naik bus."

"Berarti naik ojol aja." Arana menertawakan ucapannya sendiri.

HELENA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang